BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bumi telah cukup lama menikmati
kondisi cuaca yang baik, namun demikian saat ini semua itu telah berubah.
Jumlah air tanah yang melimpah di setiap tempat saat ini telah tercemari tanpa
dapat diperbaiki secara cepat. Kondisi sistem tata surya juga memasuki era baru
yang akan sangat mempengaruhi kehidupan di bumi. Akibatnya kita mengahadapi
berbagai permasalahan produksi tanaman terutama produksi tanaman di lahan
terbuka (open field). Dalam sejarah peradaban manusia, ketika pemerintah tidak
dapat lagi menyediakan pangan untuk rakyatnya, maka akan terjadi perubahan yang
sangat nyata pada bidang sosial, ekonomi, dan politik
Bila
kita melihat data dokumen perubahan cuaca dan lingkungan yang terjadi akan
terlihat betapa kritisnya kondisi sistem produksi pangan dan ketersediaan
pangan dunia. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah
perlunya memperluas sistem produksi tanaman dalam lingkungan terkendali yang
senantiasa dapat menyelamatkan sumberdaya air.
Pola
cuca saat ini telah berubah, apa yang kita lihat saat ini adalah adanya musim
hujan yang sangat ekstrim basah dan musing kering yang sangat ekstrim kering.
Menurut dua ahli meteorologi Benard dan Goodavage, kita saat ini berada pada
kondisi cuaca yang kritis dan diramalkan akan semakin memburuk, menurut mereka
perubahan dalam pola jetstream akan mempengaruhi pola perubahan temperatur dan
curah hujan dan akan mempengaruhi kondisi pertanian di seluruh dunia.
Beberapa
teori menyebutkan bahwa perubahanan pola jetstream terjadi akibat perubahan
cuaca dunia. Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa hal tersebut berhubungan dengan
tingginya karbondioksida dan gas lain yang terlepas ke udara akibat pembakaran
minyak yang berasal dari fosil. Beberapa dari polutan ini menyebabkan
meningkatnya suhu udara yag lebhdikenal dengan “Greenhouse Effect” (Efek rumah
kaca).
Sebagai
solusi permasalahan yang begitu besar di atas, manusia secara kreatif telah
mengembangkan berbagai teknologi untuk memproduksi tanaman sayuran, buah, dan
tanaman hias tanpa menggunakan tanah dengan jumlah air yang sedikit. Tanaman
juga dapat dibudiayakan di dalam lingkungan terkendali, sehingga secara efisien
dapat memanfaatka pupuk yang mahal harganya dan beberapa sumberdaya yang
terbatas ketersediannya. Teknologi ini dikenal dengan nama Hidroponik. Pada
budidaya tanaman dengan sistem hidroponik, pemberian air dan pupuk memungkinkan
dilaksanakan secara bersamaan. Manajemen pemupukan (fertilization) dapat
dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation) yang
selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation). Dalam sistem
hidroponik, pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang
optimal sesuai dengan kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan
sehingga tercapai hasil yang maksimum. Di bagian ini akan bibahas aspek utama
dalam budidaya tanaman tanpa tanah.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisa ini adalah Untuk mengetahui dan mengenal sarana produksi
pertanian. Seperti benih, pupuk, pestisida, zat pengatur tubuh, dan obat-obatan
lainnya
1.3 Kegunaan Penulisan
Sebagai salah satu syarat
untuk mengikuti praktikum di Laboratorium Dasar Agronomi serta sebagai
informasi bagi pihak yang membutuhkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
HIDROPONIK
Hidroponik, budidaya tanaman tanpa
tanah, telah berkembang sejak pertama kali dilakukan penelitian-penelitian yang
berhubungan dengan penemuan unsur-unsur hara essensial yang diperlukan bagi
pertumbuhan tanaman. Penelitian tentang unsur-unsur penyusun tanaman ini telah
dimulai pada tahun 1600-an. Akan tetapi budidaya tanaman tanpa tanah ini telah
dipraktekkan lebih awal dari tahun tersebut, terbukti dengan adanya taman
gantung (Hanging Gardens) di Babylon, taman terapung (Floating Gardens) dari
suku Aztecs, Mexico dan Cina (Resh, 1998)
Istilah
hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan
ponos(kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke
dari University of California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan
hara tanaman dalam skala komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau
hydroponics. Selanjutnya hidroponik didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu
cara budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah, akan tetapi menggunakan media
inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice atau sawdust, yang
diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen essensial yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Resh, 1998).
Budidaya
tanaman secara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan
budidaya secara konvensional, yaitu pertumbuhan tanaman dapat di kontrol,
tanaman dapat berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, tanaman
jarang terserang hama penyakit karena terlindungi, pemberian air irigasi dan
larutan hara lebih efisien dan efektif, dapat diusahakan terus menerus tanpa
tergantung oleh musim, dan dapat diterapkan pada lahan yang sempit (Harris,
1988).
2.1.1 PENGELOMPOKKAN HIDROPONIK
Hidroponik,
menurut Savage (1985), berdasarkan sistem irigasisnya dikelompokkan menjadi:
(1)
Sistem terbuka dimana larutan hara tidak digunakan kembali, misalnya pada
hidroponik dengan penggunaan irigasi tetes drip irrigation atau trickle
irrigation
(2)
Sistem tertutup, dimana larutan hara dimanfaatkan kembali dengan cara
resirkulasi. Sedangkan berdasarkan penggunaan media atau substrat dapat
dikelompokkan menjadi
(1)
Substrate System dan
(2)
BareRoot System.
1. Substrate System
Substrate
system atau sistem substrat adalah sistem hidroponik yang menggunakan media
tanam untuk membantu pertumbuhan tanaman. Sitem ini meliputi:
a. Sand Culture
Biasa
juga disebut „Sandponics‟ adalah budidaya tanaman dalam media pasir. Produksi
budidaya tanaman tanpa tanah secara komersial pertama kali dilakukan dengan
menggunakan bedengan pasir yang dipasang pipa irigasi tetes. Saat ini „Sand
Culture’ dikembangan menjadi teknologi yang lebih menarik, terutama di negara
yang memiliki padang pasir. Teknologi ini dibuat dengang membangun sistem
drainase dilantai rumah kaca, kemudian ditutup dengan pasir yang akhirnya
menjadi media tanam yang permanen. Selanjutnya tanaman ditanam langsung dipasir
tanpa menggunakan wadah, dan secara individual diberi irigasi tetes.
b. Gravel Culture
Gravel
Culture adalah budidaya tanaman secara hidroponik menggunakan gravel sebagai
media pendukung sistem perakaran tanaman. Metode ini sangat populer sebelum
perang dunia ke 2. Kolam memanjang sebagai bedengan diisi dengan batu gravel,
secara periodik diisi dengan larutan hara yang dapat digunakan kembali, atau
menggunakan irigasi tetes. Tanaman ditanam di atas gravel mendapatkan hara dari
larutan yang diberikan. Walaupun saat ini sistem ini masih digunakan, akan
tetapi sudah mulai diganti dengan sistem yang lebih murah dan lebih efisien.
c. Rockwool
Adalah
nama komersial media tanaman utama yang telah dikembangkan dalam sistem
budidaya tanaman tanpa tanah. Bahan ini besarsal dari bahan batu Basalt yang
bersifat Inert yang dipanaskan sampai mencair, kemudian cairan tersebut di spin
(diputar) seperti membuat aromanis sehingga menjadi benang-benang yang kemudian
dipadatkan seperti kain „wool‟ yang terbuat dari „rock‟. Rockwool biasanya
dibungkus dengan plastik. Rockwool ini juga populer dalam sistem Bag culture
sebagai media tanam. Rockwool juga banyak dimanfaatkan untuk produksi bibit
tanaman sayuran dan dan tanaman hias.
d. Bag Culture
Bag
culture adalah budidaya tanaman tanpa tanah menggunakan kantong plastik
(polybag) yang diisi dengan media tanam. Berbagai media tanam dapat dipakai
seperti : serbuk gergaji, kulit kayu, vermikulit, perlit, dan arang sekam.
Irigasi tetes biasanya diganakan dalam sistem ini. Sistem bag culture ini
disarankan digunakan bagi pemula dalam mempelajari teknologi hidroponik, sebab
sistem ini tidak beresiko tinggi dalam budidaya tanaman.
2. Bare Root System
Bare
Root system atau sistem akar telanjang adalah sistem hidroponik yang tidak
menggunakan media tanam untuk membantu pertumbuhan tanaman, meskipun block
rockwool biasanya dipakai diawal pertanaman. Sitem ini meliputi:
a. Deep Flowing System
Dee Flowing System adalah sistem
hidroponik tanpa media, berupa kolam atau kontainer yang panjang dan dangkal
diisi dengan larutan hara dan diberi aerasi. Pada sistem ini tanaman ditanam
diatas panel tray (flat tray) yang terbuat dari bahan sterofoam mengapung di
atas kolam dan perakaran berkembang di dalam larutan hara.
b. Teknologi Hidroponik Sistem
Terapung (THST)
Teknologi
Hidroponik Sistem Terapung adalah hasil modifikasi dari Deep Flowing System
yang dikembangkan di Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Perbedaan utama adalah dalam THST tidak
digunakan aerator, sehinga teknologi ini reltif lebih effisien dalam penggunaan
energi listrik. Pembahasan ditail dari THST disajikan dalam sub bab Kultur Air.
c. Aeroponics
Aeroponics
adalah sistem hidroponik tanpa media tanam, namun menggunakan kabut larutan
hara yang kaya oksigen dan disemprotkan pada zona perakaran tanaman. Perakaran
tanaman diletakkan menggantung di udara dalam kondisi gelap, dan secara
periodik disemprotkan larutan hara. Teknologi ini memerlukan ketergantungan
terhadap ketersediaan energi listrik yang lebih besar.
d. Nutrient Film Tecnics (NFT)
Nutrient
Film technics adalah sistem hidroponik tanpa media tanam. Tanaman ditanam dalam
sikrulasi hara tipis pada talang-talang yang memanjang. Persemaian biasanya
dilakukan di atas blok rockwool yang dibungkus plastik. Sistem NFT pertama kali
diperkenalkan oleh peneliti bernama Dr. Allen Cooper. Sirkulasi larutan hara
diperlukan dalam teknologi ini dalam periode waktu tertentu. Hal ini dapat
memisahkan komponen lingkungan perakaran yang ‘aqueous’ dan ‘gaseous’ yang
dapat meningkatkan serapan hara tanaman.
e. Mixed System
Ein-Gedi
System disebut juga Mixed system adalan teknologi hidroponik yang
mennggabungkan aeroponics dandeep flow technics.Bagian atas perakaran tanaman
terbenam pada kabut hara yang disemprotkan, sedangkan bagian bawah perakaran
terendam dalam larutan hara. Sistem inilebih aman dari pad aeroponics sebab
bila terjadi listrik padam tanaman masih bisa mendapatkan hara dari larutan
hara di bawah area kabut.
2.1.2 KULTUR AIR
Diantara
budidaya tanaman tanpa tanah, kultur air adalah budidya tanaman yang menurut
definisi merupakan sistem hidroponik yang sebenarnya. Kultur air juga sering
disebut true hydroponics, nutri culture, atau bare root system. Di dalam kultur
air, akar tanaman terendam dalam media cair yang merupakan larutan hara
tanaman, sementara bagian atas tanaman ditunjang adanya lapisan medium inert
tipis yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh tegak (Resh, 1998).
Dalam
sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama tentang
hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat atau
media tanam (Woodward, 1699). Teknik-teknik dasar kultur air modern telah
dikembangkan oleh Sach dan Knopp pada tahun1860 (Hewitt dan Smith, 1975) dari
beberapa hasil penemuan sebelumnya oleh Senebier tahun 1791 yang menyatakan
bahwa akar tanaman akan mati bila terendam dalam air. Pada tahun 1804, De Sausser
juga menyatakan bahwa disamping mengandung udara air juga mengandung CO2,
campuran gas mengandung 20 % O2 (Hewit, 1966; Hewitt dan Smith, 1975).
Aerasi
adalah suatu hal yang essensial untuk aktivitas perakaran walaupun hal ini
sangat beragam antar spesies tanaman. Pengambilan unsur mineral akan terjadi
ketidak seimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya akan
terangsang bila konsentrasi oksigen di zona perakaran meningkat. Akumulasi
karbondioksida (CO2) di dalam larutan hara akan menghambat absorbsi sebagian
besar unsur hara tersebut oleh tanaman, sedangkan kekurangan oksigen (O2)
walaupun tidak akan menekan absorbsi air (dalam periode tertentu) akan tetapi
tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara (Soffer, 1985).
Selama
lebih dari 300 tahun, kultur air merupakan suatu sistem yang paling sesuai
untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanaman hingga saat ini.
Beberapa hal yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki
larutan hara yang homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam mempengaruhi
sistem perakaran, serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur hara yang tepat.
Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang langsung
berhubungan dengan perakaran tanaman diantaranya adalah (1) aerasi di zona
perakaran, (2) kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang
memungkinkan tanaman tumbuh tegak. Manipulasi aerasidi zona perakaran pada
sistem kultur air menurut Resh (1998) dapat dilakukan dengan pemberian udara ke
dalam larutan hara tanaman menggunakan pompa atau kompresor. Disamping itu
peningkatan aerasi di zona perakaran dapat pula dilakukan dengan sirkulasi
larutan hara antara bak tanam dengan reservoar hara. Untuk memenuhi kebutuhan
oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991) di dalam kultur air (NFT) paling
sedikit 1/3-1/2 sistem perakaran seharusnya tidak terendam larutan hara. Hal
ini merupakan kunci perakitan teknologi hidroponik sistem terapung dimana tidak
lagi diperlukan adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun kompresor
guna meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara (Karsono, 2008).
Pengusahaan
kultur air secara komersial untuk produksi tanaman sayuran telah dilakukan di
beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al., 1985), Jepang (Takakura,
1985), Israel (Soffer, 1985), United Kingdom (Hurd, 1985), dan USA (Carpenter,
1985). Pengusahaan kultur air secara komersial di Jepang mencapai kurang lebih
2 000 greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit kultur air sistem Jepang terdiri
dari beberapa seri bak yang terbuat dari plastik yang berukuran lebar 0.8 m dan
panjang 3 m dengan kedalaman 6-8 cm. Tanaman diselipkan dalam lubang pada
sterofoam. Larutan hara dipompakan ke dalam bak selama 10 menit setiap jam,
yang bertujuan untuk memelihara aerasi. Bak selalu penuh dengan larutan hara
dimana akar tanaman terendam didalamnya. Pipa aerasi dapat dipasang pada bak
tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini mempunyai lubang berdiameter 2
mm pada setiap 4 cm panjang pipa (Resh
1998).
Modifikasi
kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen dari
Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson, USA
dengan pengembangan prototipe Raceway, Raft atau Floating System untuk produksi
selada antara tahun 1981-1982. Dalam percobaan ini dapat dihasilkan 4.5 juta
head selada per hektar per tahun (Jensen dan Collins, 1985). Sistem kultur air
ini terdiri dari bak tanam yang relatif lebih dalam 15-20 cm, dengan lebar 60
cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang lebih 3.5 m kubik atau setara
dengan 3 600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan pergerakan hanya 2-3
liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji efektivitas penggunaan
alat sterilisasi larutan hara dengan UV-sterilizer terhadap fungi patogenik
maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam greenhouse
(Lingga, 2007).
Produksi
komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung (floating raft system)
telah digunakan di Florida sejak awal tahun 1980-an (Resh, 1998). Sepuluh
sampai 12 kali panen tanaman selada terutama bibb lettuce dihasilkan dalam
greenhouse yang berpendingin. Dengan jarak tanaman yang rapat sistem ini dapat
menghasilkan 1 juta peracreper tahun tanaman selada yang dapat dipasarkan.
Masalah utama dari sistem komersial ini adalah tingginya modal awal untuk
membangun sistem ini, dan biaya teknisi yang diperlukan untuk mengoperasikan
sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung ini sulit diaplikasikan di
tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan non
recirculatingsystem telah dipelajari di Asian Vegetabel Research Center (AVRDC)
di Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988; Kratky, 1993, 1996).
Penelitian hidroponik terapung untuk produksi tanaman sayuran didalam
greenhouse di Florida menunjukkan hasil yang positif (Fedunak dan Tyson, 1997;
Tyson et.al, 1998). Lima dari tujuh varietas komersial selada berhasil
dibudidayakan menggunakan passive floating hydroponicsdi luar greenhouse, serta
memenuhi persyaratan kualitas untuk dipasarkan (Tyson et al., 1999).
Teknologi
Hidroponik Sistem Terapung(THST) merupakan sistem hidroponik tanpa substrat
yang dikembangkan dari sistem kultur air. Teknologi ini dapat dioperasikan
tanpa tergantung adanya energi listrik karena tidak memerlukan pompa untuk
re-sirkulasi larutan hara. Hal ini menyebabkan THST menjadi lebih sederhana,
mudah dioperasikan, dan murah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada
tingkat petani kecil. Studi pengembangan THST dilakukan untuk mengetahui jenis
tanaman, disain panel, jenis dan volume media, umur bibit, sumber dan
konsentrasi larutan hara, pupuk daun dan naungan, serta pemanfaatan kembali
larutan hara yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis tanaman yang
dapat dibudidayakan dengan THST adalah caisim (Tosakan), pakchoy (White
tropical type), kailan (BBT 35), kangkung (Bangkok LP1), selada (Panorama,Grand
Rapids, Red Lettuce, Minetto), dan seledri (Amigo) (Untung, 2004).
2.1.3 PROGRAM PEMUPUKAN HIDROPONIK
Larutan
hara untuk pemupukan tanaman hidroponik di formulasikan sesuai dengan kebutuhan
tanaman menggunakan kombinasi garam-garam pupuk. Jumlah yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan optimal tanaman. Program pemupukan tanaman melaui
hidroponik walaupun kelihatannya sama untuk berbagai jenis tanaman sayuran,
akan tetapi terdapat perbedaan kebutuhan setiap tanaman terhadap hara. Pupuk
yang dapat digunakan dalam sistem hidroponik harus mempunyai tingkat kelarutan
yang tinggi .
1.
Larutan Hara
Dua
ringkasan tulisan terbaik tentang perkembangan budidaya tanaman secara
hidroponik telah ditulis oleh Cooper (1979) untuk sistem komersial dan ditulis
oleh Jones (1982) untuk tujuan akademik. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa
telah banyak diformulasikan berbagai macam hara untuk hidroponik, akan tetapi
pada dasarnya penggunaan hara standar untuk tujuan komersial saat ini tidak
berubah banyak dari komposisi hara tanaman yang didiskripsikan para ahli pada
tahun 1800-an.
Sebagian
besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk mempertahankan hidupnya.
Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai pupuk lewat
perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Okisgen, Karbon dan Hidrogen) dapat
diambil dari udara dan air (Mengel dan Kirkby, 1987). Dalam budidaya tanaman
terkendali yang menggunakan tanah sebagai media, hanya sebagian kecil dari 13
unsur hara yang perlu menjadi perhatian. Sebab unsur yang diperlukan dalam
jumlah kecil (hara mikro) dapat disuplai oleh tanah. Sehingga sebagian besar
budidaya tanaman dalam greenhouse yang secara tradisional menggunakan tanah
sebagai media hanya diberikan unsur makro N,P,K saja untuk
pemupukannya.Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan petani mengontrol
pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan manajemen yang tepat
untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus memberikan 6
hara makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7 hara
mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Gerber,
1985).
2.
Konsentrasi Hara
Menurut
Hewitt (1966) terdapat kurang lebigh160 hara berdasar bentuk garam dan
kandungan individual elemennya. Sedangkan menurut Resh (1998) terdapat hanya
sekitar 30 komposisi hara tanaman. Namun demikian masih saja hal ini membingung
bagi calon pengguna untuk memilih hara tanaman yang cocok untuk budidaya
tanaman tertentu.
Larutan
hara Hoagland dan Arnon pertama kali dikembangkan untuk tanaman tomat, akan
tetapi digunakan juga sebagai larutan standar untuk berbagai penelitian pada
kultur air. Larutan Cooper adalah larutan hara ideal untuk budidaya tanaman
secara NFT. Larutan Wilcox-1 dirancang untuk persemaian tanaman selada dan
tomat. Pada saat tanaman tomat berkembang dari fase vegetatif menuju fase
generatif pada larutan Wilcox-2 unsur N dan P ditingkatkan. Akan tetapi
peningkatan unsur K lebih tinggi dibanding unsur lain untuk mendukung
pertumbuhan buah (Gerber, 1985).
3.
Pengelolaan Larutan Hara
Penghitungan
jumlah pupuk yang dilakukan secara tepat dan akurat, sehingga didapatkan
konsentrasi akhir individual unsur yang dikehendaki, merupakan hal yang sangat
kritis dalam keberhasilan program pemupukan. Dalam hampir semua sistem
produkasi tanaman secara hidroponik, paling sedikit diperlukan 2 tangki larutan
stok untuk pencampuran hara. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa jenis
sumber pupuk yang mengalami reaksi pengendapan bila dicampur dalam keadaan
konsentrasi tinggi. Pada umumnya endapan kalsium phosphat terbentuk bila
kalsium nitrat dicampur dengan beberapa sumber phosphat. Endapan kalsium sulfat
juga akan terbentuk bila terjadi pencampuran kalsium nitrate dengan magnesium
sulfat. Pengelompokan stok hara dapat dibuat sebagai berikut: Stok A yang
berisi potasium nitrat,kalsium nitrat, Fe EDTA, dan Stok B yang berisi sumber
phospor, magnesium sulfat, hara-mikro, potasium chlorida, juga potassium nitrat
(Hochmuth, 1991).
Status
larutan hara harus selalu dimonitor dan dikontrol secara kontinyu. Pada saat
ini penggunaan kontrol elemen secara individual belum banyak diterapkan pada
sistem hidroponik untuk tujuan komersial. Biasanya larutan hara dikontrol
dengan mengukur total konsentrasi garamnya, dan dibaca dalam satuan electrical
conductivity (EC). Sebagaian besar tanaman dapat tumbuh baik dalam larutan hara
yang mempunyai level EC antara 1.8-3.5, dan hal inipun tergantung dari jenis
tanaman, radiasi matahari, suhu, dan kualitas air. Di dalam sistem resirkulasi
biasanya sering terjadi kesalahan pembacaan karena terjadinya perubahan
kandungan unsur secara individual selama proses pertumbuhan tanaman (Gerber,
1985).
Di
dalam budidaya tanaman tanpa tanah, kondisi pH di zona perakaran tanaman
biasanya meningkat dengan berjalannya waktu. Penambahan larutan asam biasanya
diperlukan untuk mempertahankan pH larutan antara 5.5-6.5. Pada umumnya asam
nitrat atau phosphat dapat digunakan untuk penurunan pH. Bila diperlukan untuk
penigkatan pH larutan yang bisa digunakan adalah potasium hidroksida. Bila
sumber air ber pH tinggi karena adanya bikarbonant, pH seharusnya diturunkan
sebelum pupuk dilarutkan untuk menjaga terjadinya pengendapan (Cooper, 1979).
Kebutuhan
konsentrasi berbagai macam hara biasanya dinyatakan dalam parts per million
(ppm). Rekomendasi konsentrasi hara untuk budidaya paprika di dalam Greenhouse
secara hidroponik disajikan dalam Tabel 1.3. Target konsentrasi semua unsur
hara disajikan kecuali Sulfur dan Chloride. Hal ini dilakukan karena S sudah
terbawa dalam K-sulfat, atau Mg-Sulfat. Chloride biasanaya ditemukan dalam
jumlah yang cukup dalam pupuk sebagai bahan bawaan. Apabila kebutuhan hara
sudah diketahui maka formulasi kebutuhan pupuk dapat ditentukan. Beberapa
informasi dasar diperlukan dalam memformulasikan pupuk adalah:
1.
Volume larutan stok dan volume akhir yang diperlukan.
2.
Jenis pupuk yang diperlukan serta kandungan hara di dalam pupuk tersebut.
TARGET PEMUPUKAN DAN KESEIMBANGAN
FASE TUMBUH TANAMAN
Pemberian hara meningkat jumlahnya sesuai dengan
tingkat pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan EC
larutan hara mulai dari EC 2.5 pada stadia vegetatif menjadi EC 3.0 mmhos pada
fase generatif.
Peningkatan
EC meningkatkan konsentrasi total garam terlarut, akan tetapi tidak merubah
rasio unsur hara yang terkandung didalamnya. Peningkatan konsentrasi hara di
zona perakaran akan memnyebabkan tanaman mengalami stress karena kesulitan
menyerap air dari media. Respon tanaman dalam mengatasi stress tersebut adalah
dengan merubah kecenderungan pertumbuhan ke fase generatif (bunga dan buah).
Salah satu tantangan dalam memproduski tanaman adalah bagaimana menghasilkan
tanaman dengan pertumbuhan vegetatif yang bagus dan dilanjutkan dengan
pembentukan buah yang optimum sepanjang musim tanam. Beberapa pengaturan
keseimbangan fase vegetatif/generatif dapat dilakukan dengan pengaturan rasio
hara khususnya Nitrogen - Potasium.
FORMULASI PUPUK UNTUK HIDROPONIK
Penghitungan
pupuk untuk budidaya tanaman secara hidroponik biasanya cukup rumit, karena
menyangkut berbagai macam unsur yang berasal dari berbagai macam sumber pupuk.
Beberapa garam pupuk tersebut ada yang berbentuk tunggal maupun majemuk.
Program computer “IFF SYSTEM” telah dikembangkan untuk memperudah penghitungan
hara untuk budidaya sayuran secara hidroponik berdasar kebutuhan hara tanaman
dan kandungan analisis air (Susila, 2001). Beberapa sumber pupuk yang dapat
dipergunakan dalam formulasi pupuk hidroponi disajikan dalam Tabel 1-5.
PEDOMAN PENCAMPURAN PUPUK
HIDROPONIK
Volume
larutan hara yang dibutuhkan setiap hari sangatlah besar, sangatlah tidak
praktis apabila mencampur larutan hara setiap hari. Oleh karena itu,
pencampuran larutan hara biasasanya dilakukan dengan membuat konsentrasi tinggi
(100 sampai 200 kali) sebagai larutan stok. Hal ini juga dilakukan untuk
memudahkan penyimpanan dalam volume stok yang tidak terlalu besar. Selanjutnya
pada saat aplikasi dilakukan kembali pengencerean larutan stok tersebut.
Setelah
jumlah dan jenis berbagai pupuk telah diketahui selanjutnya dilakukan
pencampuran hara. Sebagian besar produksi sayuran dalam greenhouse secara
komersial menggunakan 2 tangki larutan stok, meskipun beberapa menggunakan
tangki ketiga untuk larutan asam.
Beberapa
Tips pencampuran larutan hara:
1.
Pililah sumber pupuk yang mempunyai kualitas yang baik dan kelarutan yang
tinggi.
2.
Ketika bekerja dengan larutan berkonsentrasi tinggi janganlah mencampur pupuk
yang mengandung Kalsium (contoh kalsium nitrat) dengan pupuk lain yang
mendandung phosphat (contoh : monopotassium phosphate) atau sulfat (contoh :
potassium sulfat, magnesium sulfat). Ketika pupuk yang mengandung kalsium,
phosphate, sulfat dicampur dalam konsentrasi tinggi akan terjadi pengendapan
dalam kalsium phosphat and kalsium sulfat. Endapan ini akan menggumpal di dasar
tangki dan dapat menyumbat emitterpada jaringan irigasi tetes.
3.
Gunakanlah air panas untuk mencapur pupuk di masing-masing Tangki. Akan tetapi
masukkanlah hara mikro pada saat air sudah menjadi hangat, dan tidak panas.
4.
Aduklah terus pada saat pupuk ditambahkan ke tangki larutan hara.
Bila
menggunakan pupuk tambahan pastikan bahwa kalsium tidak tercampur dengan
phosphate atau sulfat. Pada umumnya sumber pupuk nitrat dapat ditambahkan ke
Tangki A, sedangkan yang lain di Tangki B. Besi (Fe) selalu tambahkan ke
Tanggki A untuk menghidari reaksi dengan phosphate yang dapat mengakibatkan
pengendapan yang mengakibatkan tanaman dapat kekurangan besi (Wieler and Sailus
1996), apabila menggunakan asam untuk koreksi pH dapat ditambahkan di Tangki A
atau B, atau dapat ditambahkan di tangki C. Apabila menggunakan potassium
bicarbonate diperlukan untuk menaikkan pH buatlah di Tangki C.
APLIKASI PUPUK DAN AIR (FERTIGASI)
Air
dan pupuk diberikan secara bersamaan sebgai larutan hara. Jumlah air dan hara
akan selalu berubah sesuai dengan umur dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan
tanaman terhadap hara dan terus meningkat sejak persemaian sampai tanaman menghasilkan.
Secara
umum lebih baik meningkatkan frekuensi penyiraman daripadameningkatkan jumlah
air yang diberikan pada tanaman yang mendekati masa panen. Frekuensi pemberian
air juga dapat untuk mengatur keseimbangan fase vegetatif/generatif tanaman.
Pada jumlah volume yang tetap semakin banyak frekuensi penyiraman tanaman akan
cenderung mengalami pertumbuhan vegetatif, sebaliknya semakin jarang frekuensi
cenderung mendorong pertumbuhan generatif.
Jadwal
fertigasi untuk budidaya tanaman sayuran di dalam greeenhouse secara hidroponik
serta kisarann pH masuk dan pH keluar disajikan pada Tabel 6.9. Pengukuran EC
larutan hara dapat dipakai sebagai ukuran tingkat pemberian hara bagi tanaman.
EC larutan hara yang memiliki target nitrogen 200 ppm, kira-kira sebesar 2.5
mmhos. Tentu saja jumlah hara yang lain secara proporsional mengikuti jumlah
nitrogen. Monitoring EC dan pH dapat dilakukan pada EC masuk (sebelum melewat
media tanam) dan EC keluar (setelah melewati media tanam). Hal ini dapat
memantau kecukupan hara selama pertumbuhan tanaman. Tingkat pH optimum adalah
5.8, aktivitas perakaran biasanya dapat menurunkan pH sekitar perakaran untuk
mengatasi hal tersebut perlu digunakan pupuk yang tidak bersifat masam. Tidak
direkomendasikan menggunakan pupuk masam pada pH larutan 5.5. Penggunaan
ammonium nitrat pada 2-5 ppm (NH4 - N) akan menurunkan pH perakaran karena
pengaruh asam dari pupuk tersebut
Penyiraman
pada malam hari dapat meningkatkan perkembangan buah, akan tetapi biasanya
berasosiasi dengan resiko pecah buah bila aplikasi terlalu banyak. Sehingga
penyiraman pada malam hari perlu dikalibrasikan dengan kondisi agroklimat
setempat.
Manajemen
fertigasi merupakan cara yang fleksible dalam pemberian pupuk untuk memenuhi
kebutuhan tanaman. Dengan pengalamannya, petani dapat dengan mudah menyesuaikan
jumlah dan jenis pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman berdasarkan tingkat
perkembangannya. Pemberian hara yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tanaman
adalah salah satu “keyword” dalam budidaya tanaman secara hidroponik, sehingga
kesuksesan dalam manjemen larutan hara merupakan juga kesuksesan dalam
berbisnis tanaman secara hidroponik.
PENGEMBANGAN
HIDROPONIK DI INDONESIA
Beberapa
hal yang harus dipertimbangankan dalam pengembangan teknologi budidaya tanaman
secara hidroponik di Indonesia adalah:
1.
Sistem yang dibagunag harus sederhana dan tidak rumit
2.
Sistem ang dibangun harus murah
3.
Sistem yang dibangun harus melibatkan bahan-bahan yang ramah lingkungan
4.
Komponen bahan dan alat yang digunakan mudah di dapatkan
5.
Sistem tidak tergantung terhadap energi listrik
6.
Digunakan komoditas yang bernilai komersial yang tinggi.
Dengan
demikian maka pengusahaan budidatanamn secaa hidroponik akan dapat memberikan
margin keuntungan yang tinggi dan layak untuk dikembangkan hidroponik.
2.1.4
KEUNTUNGAN & KERUGIAN HIDROPONIK
Keuntungan
Hidroponik
- Produksi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan media tanam tanah biasa.
- Lebih terjamin kebebasan tanaman dari hama dan penyakit.
- Tanaman tumbuh lebih cepat dan pemakaian pupuk lebih hemat.
- Bila ada tanaman yang mati, bias diganti dengan tanman baru dengan mudah.
- Tanaman akan memberikan hasil yang Countinue
- Metode kerja yang sudah distandardisasi, lebih memudahkan pekerjaan dan tidak membutuhkan tenaga kasar (Sutiyoso,2003).
- Tanaman dapat tumbuh di tempat yang semestinya tidak cocok bagi tanaman yang bersangkutan.
Kekurangan Hidroponik antara lain:
1.
larutan
nutrient harus seimbang,
perawatan yang cukup mahal, hanya khusus
tanaman tertentu. Irigasi atau pengairan sangat penting dalam
pertumbuhan tanaman. Apalagi dalam sistem hidroponik irigasi yang teratur
atau rutin sangat dibutuhkan. Secara garis besar, irigasi dalam sistem
hidroponik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sistem air menggenang dan
sistem air mengalir (Prihmantoro, 1996).
2. Sistem air menggenang
Dalam sistem irigasi ini air/larutan
yang diberikan tertampung dlam wadah pot sehingga tergenang. Ketinggian
air/larutan harus di bawah akar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terendamnya akar sehingga dapat menyebabkan pembusukan. Sistem ini
biasanya digunakan pada hidroponik yang memakai wadah akuarium (Prihmantoro, 1996).
3. Sistem air mengalir
Sistem air mengalir mempunyai prinsip
air/larutan dialirkan terus sehingga tidak ada yang menggenang. Sistem ini
mempunyai kelebihan yaitu zat hara yang tercampur dalam air tidak mengendap
sehingga akar tetap menyerap zat hara dalam konsentrasi yang sama dan sesuai.
Dua macam cara dalam sistem air mengalir yang banyak digunakan untuk hidroponik
yaitu drip irrogation (irigasi tetes), Nutrient Film Technical (NFT), dan
Floating Hydroponics System (FHS) (Prihmantoro, 1996).
Hidroponik dengan sistem nutrient film tehnical (NFT)
mempunyai prinsip air/ larutan dialirkan dibawah akar, kemudian ditampung dalam
wadah untuk didaur ulang lagi. Dengan cara ini larutan tidak terbuang
percuma. Dalam sistem NFT ada dua macam cara yang digunakan, yaitu dengan
bed sistem dan teras (Prihmantoro, 1996).
Bagi pengusaha hidroponik, pupuk yang tersedia di pasaran
kadang kurang memuaskan. Selain harganya mahal, belum tentu larutan
tersebut sesuai dengan kebutuhan hara jenis tanaman yang diusahakan. Lingga
(1987) menyatakan bahwa, yang penting dipahami ialah bahwa semua tanaman yang
ditumbuhkan dengan metode hidroponik harus diberi makanan berupa campuran
garam-garam pupuk yang dilarutkan dan diberikan secara teratur.
KESIMPULAN
- Hidroponik merupakan usaha pemanfaatan air dengan maksimal dalam rangka usaha budidaya pertanian.
- Budidaya tanaman dengan sistem hidroponik tidak memerlukan lahan yang subur dan dapat menghemat lahan atau tidak membutuhkan lahan yang luas khususnya dalam usaha budidaya tanaman bayam.
- Usaha budidaya bayam dengan sistem hidroponik akan memberikan hasil yang lebih maksimal dibanding dengan sistem konpensional.
- Dalam usaha budidaya dengan sistem hidroponik terbagi atas dua yaitu ; hidroponik skala rumah tangga dan hidroponik skala industri, untuk hidroponim skala rumah tangga dapat menggunakan rangkaian pipa yang di buat khusus dengan mempertimbangkan sirkulasi air (Kit), dan untuk skala industri menggunakan bedengan-bedengan yang terbuat dari semen atau kayu.
- Pemberian nutrisi lebih diperhatiakan karena tanaman cuman tergantung pada satu sumber nutrisi yaitu nutrisi buatan.
- Hidroponik merupakan sala satu budidaya alternatif yang sangat cocok untuk dikembangkan di era modrn ini. Hal ini dikerenakan oleh semakin sempit dan terbatasnya lahan pertanian yang subur.
- Hidroponik banyak disukai karena sistem ini tidak membuthkan lahanyang luas dan termasuk pertanian yang bersih karena penggunaan tanah yang sedikit dan tidak perlu dilakukan pengolahan lahan sebelum proses penanaman.
- Hidroponik berdasarkan cara pemberian larutan terbagi menjadi dua macam yaitu hidroponik manual dan hidroponik otomatis.
- Hasil yang diperoleh pemberian pupuk cair 3ml lebih dari pada 2ml dan 1ml dikarenakan nutrisi yang ada dipupuk cair 3ml lebih baik dan lebih banyak. Selain itu tanaman kangkung pada hidroponik manual akan tumbuh dengan baik apabila kebutuhan nutrisi tercukupi dan factor lingkungan mendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Harris, P.M. 1988. Mineral Nutrition. In
Harris (ed) The Potato Crop; The Scientific Basis for Improvement London.
Chopman and Hall
Karsono,
S. 2008. Pengenalan Sistem Hidroponik. Parung Farm. Bogor.
Lingga,
P. 2007. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta. 80
hal.
Prihmantoro,
H. dan Y. H. Indriani. 1998. Hidroponik Sayuran Semusim untuk Bisnis dan Hobi.
Penebar Swadaya. Jakarta. 121 hal.
Resh, H. M. 2004. Hydroponic Food
Production Sixth Edition. New Concept Press. New Jersey. 567 p.
Roberto K. 2004. How-To Hydroponics Fourth Edition.
Futuregarden Press. New York.
Savage, A.D. 1985. Overview:Background, current situation, and future prospect, p.6 – 11. In: A.J. Savage (ed.). Hydroponics worldwide: State of the art in soiless crop production. Intl. Ctr. Special. Studies Inc.Honolulu, Hawaii.
Sutiyoso, Yos. 2003. Aeroponik
Sayuran Budidaya dengan Sistem Pengabutan.Penebar Swadaya. Jakarta.
Suwandi. 2009. Menakar kebutuhan Hara Tanaman Dalam Pengembangan Inovasi Budidaya Sayuran Berkelanjutan.
Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor.
Untung, O. 2004. Hidroponik Sayuran
Sistem NFT (Nutrient Film Technique). Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar