Hallooo perkenalkan saya fhu....

Rabu, 15 Agustus 2018

PAPER HIDROPONIK-AGROTEKNOLOGI USU


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Bumi telah cukup lama menikmati kondisi cuaca yang baik, namun demikian saat ini semua itu telah berubah. Jumlah air tanah yang melimpah di setiap tempat saat ini telah tercemari tanpa dapat diperbaiki secara cepat. Kondisi sistem tata surya juga memasuki era baru yang akan sangat mempengaruhi kehidupan di bumi. Akibatnya kita mengahadapi berbagai permasalahan produksi tanaman terutama produksi tanaman di lahan terbuka (open field). Dalam sejarah peradaban manusia, ketika pemerintah tidak dapat lagi menyediakan pangan untuk rakyatnya, maka akan terjadi perubahan yang sangat nyata pada bidang sosial, ekonomi, dan politik
Bila kita melihat data dokumen perubahan cuaca dan lingkungan yang terjadi akan terlihat betapa kritisnya kondisi sistem produksi pangan dan ketersediaan pangan dunia. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah perlunya memperluas sistem produksi tanaman dalam lingkungan terkendali yang senantiasa dapat menyelamatkan sumberdaya air.
Pola cuca saat ini telah berubah, apa yang kita lihat saat ini adalah adanya musim hujan yang sangat ekstrim basah dan musing kering yang sangat ekstrim kering. Menurut dua ahli meteorologi Benard dan Goodavage, kita saat ini berada pada kondisi cuaca yang kritis dan diramalkan akan semakin memburuk, menurut mereka perubahan dalam pola jetstream akan mempengaruhi pola perubahan temperatur dan curah hujan dan akan mempengaruhi kondisi pertanian di seluruh dunia.
Beberapa teori menyebutkan bahwa perubahanan pola jetstream terjadi akibat perubahan cuaca dunia. Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa hal tersebut berhubungan dengan tingginya karbondioksida dan gas lain yang terlepas ke udara akibat pembakaran minyak yang berasal dari fosil. Beberapa dari polutan ini menyebabkan meningkatnya suhu udara yag lebhdikenal dengan “Greenhouse Effect” (Efek rumah kaca).
Sebagai solusi permasalahan yang begitu besar di atas, manusia secara kreatif telah mengembangkan berbagai teknologi untuk memproduksi tanaman sayuran, buah, dan tanaman hias tanpa menggunakan tanah dengan jumlah air yang sedikit. Tanaman juga dapat dibudiayakan di dalam lingkungan terkendali, sehingga secara efisien dapat memanfaatka pupuk yang mahal harganya dan beberapa sumberdaya yang terbatas ketersediannya. Teknologi ini dikenal dengan nama Hidroponik. Pada budidaya tanaman dengan sistem hidroponik, pemberian air dan pupuk memungkinkan dilaksanakan secara bersamaan. Manajemen pemupukan (fertilization) dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan manajemen irigasi (irrigation) yang selanjutnya disebut fertigasi (fertilization and irrigation). Dalam sistem hidroponik, pengelolaan air dan hara difokuskan terhadap cara pemberian yang optimal sesuai dengan kebutuhan tanaman, umur tanaman dan kondisi lingkungan sehingga tercapai hasil yang maksimum. Di bagian ini akan bibahas aspek utama dalam budidaya tanaman tanpa tanah.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisa ini adalah Untuk mengetahui dan mengenal sarana produksi pertanian. Seperti benih, pupuk, pestisida, zat pengatur tubuh, dan obat-obatan lainnya
1.3 Kegunaan Penulisan
Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti praktikum di Laboratorium Dasar Agronomi serta sebagai informasi bagi pihak yang membutuhkan.
        BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIDROPONIK
            Hidroponik, budidaya tanaman tanpa tanah, telah berkembang sejak pertama kali dilakukan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan penemuan unsur-unsur hara essensial yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Penelitian tentang unsur-unsur penyusun tanaman ini telah dimulai pada tahun 1600-an. Akan tetapi budidaya tanaman tanpa tanah ini telah dipraktekkan lebih awal dari tahun tersebut, terbukti dengan adanya taman gantung (Hanging Gardens) di Babylon, taman terapung (Floating Gardens) dari suku Aztecs, Mexico dan Cina (Resh, 1998)
Istilah hidroponik yang berasal dari bahasa Latin yang berarti hydro (air) dan ponos(kerja). Istilah hidroponik pertama kali dikemukakan oleh W.F. Gericke dari University of California pada awal tahun 1930-an, yang melakukan percobaan hara tanaman dalam skala komersial yang selanjutnya disebut nutrikultur atau hydroponics. Selanjutnya hidroponik didefinisikan secara ilmiah sebagai suatu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan tanah, akan tetapi menggunakan media inert seperti gravel, pasir, peat, vermikulit, pumice atau sawdust, yang diberikan larutan hara yang mengandung semua elemen essensial yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal tanaman (Resh, 1998).
Budidaya tanaman secara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan budidaya secara konvensional, yaitu pertumbuhan tanaman dapat di kontrol, tanaman dapat berproduksi dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, tanaman jarang terserang hama penyakit karena terlindungi, pemberian air irigasi dan larutan hara lebih efisien dan efektif, dapat diusahakan terus menerus tanpa tergantung oleh musim, dan dapat diterapkan pada lahan yang sempit (Harris, 1988).
2.1.1 PENGELOMPOKKAN HIDROPONIK
Hidroponik, menurut Savage (1985), berdasarkan sistem irigasisnya dikelompokkan menjadi:
(1) Sistem terbuka dimana larutan hara tidak digunakan kembali, misalnya pada hidroponik dengan penggunaan irigasi tetes drip irrigation atau trickle irrigation
(2) Sistem tertutup, dimana larutan hara dimanfaatkan kembali dengan cara resirkulasi. Sedangkan berdasarkan penggunaan media atau substrat dapat dikelompokkan menjadi
(1) Substrate System dan
(2) BareRoot System.
1. Substrate System
Substrate system atau sistem substrat adalah sistem hidroponik yang menggunakan media tanam untuk membantu pertumbuhan tanaman. Sitem ini meliputi:
a. Sand Culture
Biasa juga disebut „Sandponics‟ adalah budidaya tanaman dalam media pasir. Produksi budidaya tanaman tanpa tanah secara komersial pertama kali dilakukan dengan menggunakan bedengan pasir yang dipasang pipa irigasi tetes. Saat ini „Sand Culture’ dikembangan menjadi teknologi yang lebih menarik, terutama di negara yang memiliki padang pasir. Teknologi ini dibuat dengang membangun sistem drainase dilantai rumah kaca, kemudian ditutup dengan pasir yang akhirnya menjadi media tanam yang permanen. Selanjutnya tanaman ditanam langsung dipasir tanpa menggunakan wadah, dan secara individual diberi irigasi tetes.
b. Gravel Culture
Gravel Culture adalah budidaya tanaman secara hidroponik menggunakan gravel sebagai media pendukung sistem perakaran tanaman. Metode ini sangat populer sebelum perang dunia ke 2. Kolam memanjang sebagai bedengan diisi dengan batu gravel, secara periodik diisi dengan larutan hara yang dapat digunakan kembali, atau menggunakan irigasi tetes. Tanaman ditanam di atas gravel mendapatkan hara dari larutan yang diberikan. Walaupun saat ini sistem ini masih digunakan, akan tetapi sudah mulai diganti dengan sistem yang lebih murah dan lebih efisien.
c. Rockwool
Adalah nama komersial media tanaman utama yang telah dikembangkan dalam sistem budidaya tanaman tanpa tanah. Bahan ini besarsal dari bahan batu Basalt yang bersifat Inert yang dipanaskan sampai mencair, kemudian cairan tersebut di spin (diputar) seperti membuat aromanis sehingga menjadi benang-benang yang kemudian dipadatkan seperti kain „wool‟ yang terbuat dari „rock‟. Rockwool biasanya dibungkus dengan plastik. Rockwool ini juga populer dalam sistem Bag culture sebagai media tanam. Rockwool juga banyak dimanfaatkan untuk produksi bibit tanaman sayuran dan dan tanaman hias.
d. Bag Culture
Bag culture adalah budidaya tanaman tanpa tanah menggunakan kantong plastik (polybag) yang diisi dengan media tanam. Berbagai media tanam dapat dipakai seperti : serbuk gergaji, kulit kayu, vermikulit, perlit, dan arang sekam. Irigasi tetes biasanya diganakan dalam sistem ini. Sistem bag culture ini disarankan digunakan bagi pemula dalam mempelajari teknologi hidroponik, sebab sistem ini tidak beresiko tinggi dalam budidaya tanaman.
2. Bare Root System
Bare Root system atau sistem akar telanjang adalah sistem hidroponik yang tidak menggunakan media tanam untuk membantu pertumbuhan tanaman, meskipun block rockwool biasanya dipakai diawal pertanaman. Sitem ini meliputi:
a. Deep Flowing System
            Dee Flowing System adalah sistem hidroponik tanpa media, berupa kolam atau kontainer yang panjang dan dangkal diisi dengan larutan hara dan diberi aerasi. Pada sistem ini tanaman ditanam diatas panel tray (flat tray) yang terbuat dari bahan sterofoam mengapung di atas kolam dan perakaran berkembang di dalam larutan hara.
b. Teknologi Hidroponik Sistem Terapung (THST)
Teknologi Hidroponik Sistem Terapung adalah hasil modifikasi dari Deep Flowing System yang dikembangkan di Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Perbedaan utama adalah dalam THST tidak digunakan aerator, sehinga teknologi ini reltif lebih effisien dalam penggunaan energi listrik. Pembahasan ditail dari THST disajikan dalam sub bab Kultur Air.
c. Aeroponics
Aeroponics adalah sistem hidroponik tanpa media tanam, namun menggunakan kabut larutan hara yang kaya oksigen dan disemprotkan pada zona perakaran tanaman. Perakaran tanaman diletakkan menggantung di udara dalam kondisi gelap, dan secara periodik disemprotkan larutan hara. Teknologi ini memerlukan ketergantungan terhadap ketersediaan energi listrik yang lebih besar.
d. Nutrient Film Tecnics (NFT)
Nutrient Film technics adalah sistem hidroponik tanpa media tanam. Tanaman ditanam dalam sikrulasi hara tipis pada talang-talang yang memanjang. Persemaian biasanya dilakukan di atas blok rockwool yang dibungkus plastik. Sistem NFT pertama kali diperkenalkan oleh peneliti bernama Dr. Allen Cooper. Sirkulasi larutan hara diperlukan dalam teknologi ini dalam periode waktu tertentu. Hal ini dapat memisahkan komponen lingkungan perakaran yang ‘aqueous’ dan ‘gaseous’ yang dapat meningkatkan serapan hara tanaman.
e. Mixed System
Ein-Gedi System disebut juga Mixed system adalan teknologi hidroponik yang mennggabungkan aeroponics dandeep flow technics.Bagian atas perakaran tanaman terbenam pada kabut hara yang disemprotkan, sedangkan bagian bawah perakaran terendam dalam larutan hara. Sistem inilebih aman dari pad aeroponics sebab bila terjadi listrik padam tanaman masih bisa mendapatkan hara dari larutan hara di bawah area kabut.
2.1.2 KULTUR AIR
Diantara budidaya tanaman tanpa tanah, kultur air adalah budidya tanaman yang menurut definisi merupakan sistem hidroponik yang sebenarnya. Kultur air juga sering disebut true hydroponics, nutri culture, atau bare root system. Di dalam kultur air, akar tanaman terendam dalam media cair yang merupakan larutan hara tanaman, sementara bagian atas tanaman ditunjang adanya lapisan medium inert tipis yang memungkinkan tanaman dapat tumbuh tegak (Resh, 1998).
Dalam sejarah perkembangan hidroponik, penelitian-penelitian pertama tentang hidroponik tercatat menggunakan sistem kultur air tanpa adanya substrat atau media tanam (Woodward, 1699). Teknik-teknik dasar kultur air modern telah dikembangkan oleh Sach dan Knopp pada tahun1860 (Hewitt dan Smith, 1975) dari beberapa hasil penemuan sebelumnya oleh Senebier tahun 1791 yang menyatakan bahwa akar tanaman akan mati bila terendam dalam air. Pada tahun 1804, De Sausser juga menyatakan bahwa disamping mengandung udara air juga mengandung CO2, campuran gas mengandung 20 % O2 (Hewit, 1966; Hewitt dan Smith, 1975).
Aerasi adalah suatu hal yang essensial untuk aktivitas perakaran walaupun hal ini sangat beragam antar spesies tanaman. Pengambilan unsur mineral akan terjadi ketidak seimbangan bila kondisi oksigen di perakaran menurun, sebaliknya akan terangsang bila konsentrasi oksigen di zona perakaran meningkat. Akumulasi karbondioksida (CO2) di dalam larutan hara akan menghambat absorbsi sebagian besar unsur hara tersebut oleh tanaman, sedangkan kekurangan oksigen (O2) walaupun tidak akan menekan absorbsi air (dalam periode tertentu) akan tetapi tetap menekan pengambilan unsur hara dari larutan hara (Soffer, 1985).
Selama lebih dari 300 tahun, kultur air merupakan suatu sistem yang paling sesuai untuk penelitian-penelitian hara dan metabolisme tanaman hingga saat ini. Beberapa hal yang menyebabkan hal di atas adalah sistem kultur air memiliki larutan hara yang homogen, adanya keseragaman seluruh sistem dalam mempengaruhi sistem perakaran, serta kemungkinan pengaturan kandungan unsur hara yang tepat. Keberhasilan sistem kultur air dipengaruhi oleh beberapa faktor yang langsung berhubungan dengan perakaran tanaman diantaranya adalah (1) aerasi di zona perakaran, (2) kondisi perakaran, dan (3) sistem penopang tanaman yang memungkinkan tanaman tumbuh tegak. Manipulasi aerasidi zona perakaran pada sistem kultur air menurut Resh (1998) dapat dilakukan dengan pemberian udara ke dalam larutan hara tanaman menggunakan pompa atau kompresor. Disamping itu peningkatan aerasi di zona perakaran dapat pula dilakukan dengan sirkulasi larutan hara antara bak tanam dengan reservoar hara. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi perakaran menurut Hochmuth (1991) di dalam kultur air (NFT) paling sedikit 1/3-1/2 sistem perakaran seharusnya tidak terendam larutan hara. Hal ini merupakan kunci perakitan teknologi hidroponik sistem terapung dimana tidak lagi diperlukan adanya energi listrik untuk menjalankan pompa ataupun kompresor guna meresirkulasi ataupun meningkatkan aerasi larutan hara (Karsono, 2008).
Pengusahaan kultur air secara komersial untuk produksi tanaman sayuran telah dilakukan di beberapa negara antara lain Canada (Ingratta et al., 1985), Jepang (Takakura, 1985), Israel (Soffer, 1985), United Kingdom (Hurd, 1985), dan USA (Carpenter, 1985). Pengusahaan kultur air secara komersial di Jepang mencapai kurang lebih 2 000 greenhouse atau sekitar 300 hektar. Unit kultur air sistem Jepang terdiri dari beberapa seri bak yang terbuat dari plastik yang berukuran lebar 0.8 m dan panjang 3 m dengan kedalaman 6-8 cm. Tanaman diselipkan dalam lubang pada sterofoam. Larutan hara dipompakan ke dalam bak selama 10 menit setiap jam, yang bertujuan untuk memelihara aerasi. Bak selalu penuh dengan larutan hara dimana akar tanaman terendam didalamnya. Pipa aerasi dapat dipasang pada bak tanam untuk meningkatkan aerasi. Pipa aerasi ini mempunyai lubang berdiameter 2 mm pada setiap 4 cm panjang pipa    (Resh 1998).

Modifikasi kultur air sistem Jepang telah dilakukan oleh Dr. Merle Jensen dari Environmental Research Laboratory (ERL), Universitas Arizona, Tucson, USA dengan pengembangan prototipe Raceway, Raft atau Floating System untuk produksi selada antara tahun 1981-1982. Dalam percobaan ini dapat dihasilkan 4.5 juta head selada per hektar per tahun (Jensen dan Collins, 1985). Sistem kultur air ini terdiri dari bak tanam yang relatif lebih dalam 15-20 cm, dengan lebar 60 cm dan panjang 30 m. Volume larutan hara kurang lebih 3.5 m kubik atau setara dengan 3 600 liter. Hara didalam bak relatif statik dengan pergerakan hanya 2-3 liter per menit. Dalam penelitian ini juga telah diuji efektivitas penggunaan alat sterilisasi larutan hara dengan UV-sterilizer terhadap fungi patogenik maupun non patogenik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam greenhouse (Lingga, 2007).
Produksi komersial sayuran daun untuk salad dalam sistem terapung (floating raft system) telah digunakan di Florida sejak awal tahun 1980-an (Resh, 1998). Sepuluh sampai 12 kali panen tanaman selada terutama bibb lettuce dihasilkan dalam greenhouse yang berpendingin. Dengan jarak tanaman yang rapat sistem ini dapat menghasilkan 1 juta peracreper tahun tanaman selada yang dapat dipasarkan. Masalah utama dari sistem komersial ini adalah tingginya modal awal untuk membangun sistem ini, dan biaya teknisi yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem ini. Hal ini menyebabkan sistem terapung ini sulit diaplikasikan di tingkat petani. Teknologi hidroponik pasif, low-tech, dan non recirculatingsystem telah dipelajari di Asian Vegetabel Research Center (AVRDC) di Taiwan dan di Universitas Hawaii (Kratky et al., 1988; Kratky, 1993, 1996). Penelitian hidroponik terapung untuk produksi tanaman sayuran didalam greenhouse di Florida menunjukkan hasil yang positif (Fedunak dan Tyson, 1997; Tyson et.al, 1998). Lima dari tujuh varietas komersial selada berhasil dibudidayakan menggunakan passive floating hydroponicsdi luar greenhouse, serta memenuhi persyaratan kualitas untuk dipasarkan (Tyson et al., 1999).
Teknologi Hidroponik Sistem Terapung(THST) merupakan sistem hidroponik tanpa substrat yang dikembangkan dari sistem kultur air. Teknologi ini dapat dioperasikan tanpa tergantung adanya energi listrik karena tidak memerlukan pompa untuk re-sirkulasi larutan hara. Hal ini menyebabkan THST menjadi lebih sederhana, mudah dioperasikan, dan murah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan pada tingkat petani kecil. Studi pengembangan THST dilakukan untuk mengetahui jenis tanaman, disain panel, jenis dan volume media, umur bibit, sumber dan konsentrasi larutan hara, pupuk daun dan naungan, serta pemanfaatan kembali larutan hara yang optimal. Hasil studi menunjukkan bahwa jenis tanaman yang dapat dibudidayakan dengan THST adalah caisim (Tosakan), pakchoy (White tropical type), kailan (BBT 35), kangkung (Bangkok LP1), selada (Panorama,Grand Rapids, Red Lettuce, Minetto), dan seledri (Amigo)          (Untung, 2004).
2.1.3 PROGRAM PEMUPUKAN HIDROPONIK
Larutan hara untuk pemupukan tanaman hidroponik di formulasikan sesuai dengan kebutuhan tanaman menggunakan kombinasi garam-garam pupuk. Jumlah yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan optimal tanaman. Program pemupukan tanaman melaui hidroponik walaupun kelihatannya sama untuk berbagai jenis tanaman sayuran, akan tetapi terdapat perbedaan kebutuhan setiap tanaman terhadap hara. Pupuk yang dapat digunakan dalam sistem hidroponik harus mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi .
1. Larutan Hara
Dua ringkasan tulisan terbaik tentang perkembangan budidaya tanaman secara hidroponik telah ditulis oleh Cooper (1979) untuk sistem komersial dan ditulis oleh Jones (1982) untuk tujuan akademik. Dalam tulisan ini dikemukakan bahwa telah banyak diformulasikan berbagai macam hara untuk hidroponik, akan tetapi pada dasarnya penggunaan hara standar untuk tujuan komersial saat ini tidak berubah banyak dari komposisi hara tanaman yang didiskripsikan para ahli pada tahun 1800-an.
Sebagian besar tanaman hijau memerlukan total 16 elemen kimia untuk mempertahankan hidupnya. Dari total elemen ini hanya 13 yang dapat diberikan sebagai pupuk lewat perakaran tanaman, sedangkan 3 yang lain (Okisgen, Karbon dan Hidrogen) dapat diambil dari udara dan air (Mengel dan Kirkby, 1987). Dalam budidaya tanaman terkendali yang menggunakan tanah sebagai media, hanya sebagian kecil dari 13 unsur hara yang perlu menjadi perhatian. Sebab unsur yang diperlukan dalam jumlah kecil (hara mikro) dapat disuplai oleh tanah. Sehingga sebagian besar budidaya tanaman dalam greenhouse yang secara tradisional menggunakan tanah sebagai media hanya diberikan unsur makro N,P,K saja untuk pemupukannya.Budidaya tanaman secara hidroponik memungkinkan petani mengontrol pertumbuhan tanaman, akan tetapi juga memerlukan kemampuan manajemen yang tepat untuk mencapai keberhasilan. Petani hidroponik tidak hanya harus memberikan 6 hara makro ( N, P, K, Ca, Mg, S) saja, akan tetapi harus juga memberikan 7 hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, B) untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985).
2. Konsentrasi Hara
Menurut Hewitt (1966) terdapat kurang lebigh160 hara berdasar bentuk garam dan kandungan individual elemennya. Sedangkan menurut Resh (1998) terdapat hanya sekitar 30 komposisi hara tanaman. Namun demikian masih saja hal ini membingung bagi calon pengguna untuk memilih hara tanaman yang cocok untuk budidaya tanaman tertentu.
Larutan hara Hoagland dan Arnon pertama kali dikembangkan untuk tanaman tomat, akan tetapi digunakan juga sebagai larutan standar untuk berbagai penelitian pada kultur air. Larutan Cooper adalah larutan hara ideal untuk budidaya tanaman secara NFT. Larutan Wilcox-1 dirancang untuk persemaian tanaman selada dan tomat. Pada saat tanaman tomat berkembang dari fase vegetatif menuju fase generatif pada larutan Wilcox-2 unsur N dan P ditingkatkan. Akan tetapi peningkatan unsur K lebih tinggi dibanding unsur lain untuk mendukung pertumbuhan buah (Gerber, 1985).
3. Pengelolaan Larutan Hara
Penghitungan jumlah pupuk yang dilakukan secara tepat dan akurat, sehingga didapatkan konsentrasi akhir individual unsur yang dikehendaki, merupakan hal yang sangat kritis dalam keberhasilan program pemupukan. Dalam hampir semua sistem produkasi tanaman secara hidroponik, paling sedikit diperlukan 2 tangki larutan stok untuk pencampuran hara. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa jenis sumber pupuk yang mengalami reaksi pengendapan bila dicampur dalam keadaan konsentrasi tinggi. Pada umumnya endapan kalsium phosphat terbentuk bila kalsium nitrat dicampur dengan beberapa sumber phosphat. Endapan kalsium sulfat juga akan terbentuk bila terjadi pencampuran kalsium nitrate dengan magnesium sulfat. Pengelompokan stok hara dapat dibuat sebagai berikut: Stok A yang berisi potasium nitrat,kalsium nitrat, Fe EDTA, dan Stok B yang berisi sumber phospor, magnesium sulfat, hara-mikro, potasium chlorida, juga potassium nitrat (Hochmuth, 1991).
Status larutan hara harus selalu dimonitor dan dikontrol secara kontinyu. Pada saat ini penggunaan kontrol elemen secara individual belum banyak diterapkan pada sistem hidroponik untuk tujuan komersial. Biasanya larutan hara dikontrol dengan mengukur total konsentrasi garamnya, dan dibaca dalam satuan electrical conductivity (EC). Sebagaian besar tanaman dapat tumbuh baik dalam larutan hara yang mempunyai level EC antara 1.8-3.5, dan hal inipun tergantung dari jenis tanaman, radiasi matahari, suhu, dan kualitas air. Di dalam sistem resirkulasi biasanya sering terjadi kesalahan pembacaan karena terjadinya perubahan kandungan unsur secara individual selama proses pertumbuhan tanaman (Gerber, 1985).
Di dalam budidaya tanaman tanpa tanah, kondisi pH di zona perakaran tanaman biasanya meningkat dengan berjalannya waktu. Penambahan larutan asam biasanya diperlukan untuk mempertahankan pH larutan antara 5.5-6.5. Pada umumnya asam nitrat atau phosphat dapat digunakan untuk penurunan pH. Bila diperlukan untuk penigkatan pH larutan yang bisa digunakan adalah potasium hidroksida. Bila sumber air ber pH tinggi karena adanya bikarbonant, pH seharusnya diturunkan sebelum pupuk dilarutkan untuk menjaga terjadinya pengendapan (Cooper, 1979).
Kebutuhan konsentrasi berbagai macam hara biasanya dinyatakan dalam parts per million (ppm). Rekomendasi konsentrasi hara untuk budidaya paprika di dalam Greenhouse secara hidroponik disajikan dalam Tabel 1.3. Target konsentrasi semua unsur hara disajikan kecuali Sulfur dan Chloride. Hal ini dilakukan karena S sudah terbawa dalam K-sulfat, atau Mg-Sulfat. Chloride biasanaya ditemukan dalam jumlah yang cukup dalam pupuk sebagai bahan bawaan. Apabila kebutuhan hara sudah diketahui maka formulasi kebutuhan pupuk dapat ditentukan. Beberapa informasi dasar diperlukan dalam memformulasikan pupuk adalah:
1. Volume larutan stok dan volume akhir yang diperlukan.
2. Jenis pupuk yang diperlukan serta kandungan hara di dalam pupuk tersebut.
TARGET PEMUPUKAN DAN KESEIMBANGAN FASE TUMBUH TANAMAN
Pemberian hara meningkat jumlahnya sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan EC larutan hara mulai dari EC 2.5 pada stadia vegetatif menjadi EC 3.0 mmhos pada fase generatif.
Peningkatan EC meningkatkan konsentrasi total garam terlarut, akan tetapi tidak merubah rasio unsur hara yang terkandung didalamnya. Peningkatan konsentrasi hara di zona perakaran akan memnyebabkan tanaman mengalami stress karena kesulitan menyerap air dari media. Respon tanaman dalam mengatasi stress tersebut adalah dengan merubah kecenderungan pertumbuhan ke fase generatif (bunga dan buah). Salah satu tantangan dalam memproduski tanaman adalah bagaimana menghasilkan tanaman dengan pertumbuhan vegetatif yang bagus dan dilanjutkan dengan pembentukan buah yang optimum sepanjang musim tanam. Beberapa pengaturan keseimbangan fase vegetatif/generatif dapat dilakukan dengan pengaturan rasio hara khususnya Nitrogen - Potasium.
FORMULASI PUPUK UNTUK HIDROPONIK
Penghitungan pupuk untuk budidaya tanaman secara hidroponik biasanya cukup rumit, karena menyangkut berbagai macam unsur yang berasal dari berbagai macam sumber pupuk. Beberapa garam pupuk tersebut ada yang berbentuk tunggal maupun majemuk. Program computer “IFF SYSTEM” telah dikembangkan untuk memperudah penghitungan hara untuk budidaya sayuran secara hidroponik berdasar kebutuhan hara tanaman dan kandungan analisis air (Susila, 2001). Beberapa sumber pupuk yang dapat dipergunakan dalam formulasi pupuk hidroponi disajikan dalam Tabel 1-5.
PEDOMAN PENCAMPURAN PUPUK HIDROPONIK
Volume larutan hara yang dibutuhkan setiap hari sangatlah besar, sangatlah tidak praktis apabila mencampur larutan hara setiap hari. Oleh karena itu, pencampuran larutan hara biasasanya dilakukan dengan membuat konsentrasi tinggi (100 sampai 200 kali) sebagai larutan stok. Hal ini juga dilakukan untuk memudahkan penyimpanan dalam volume stok yang tidak terlalu besar. Selanjutnya pada saat aplikasi dilakukan kembali pengencerean larutan stok tersebut.
Setelah jumlah dan jenis berbagai pupuk telah diketahui selanjutnya dilakukan pencampuran hara. Sebagian besar produksi sayuran dalam greenhouse secara komersial menggunakan 2 tangki larutan stok, meskipun beberapa menggunakan tangki ketiga untuk larutan asam.
Beberapa Tips pencampuran larutan hara:
1. Pililah sumber pupuk yang mempunyai kualitas yang baik dan kelarutan yang tinggi.
2. Ketika bekerja dengan larutan berkonsentrasi tinggi janganlah mencampur pupuk yang mengandung Kalsium (contoh kalsium nitrat) dengan pupuk lain yang mendandung phosphat (contoh : monopotassium phosphate) atau sulfat (contoh : potassium sulfat, magnesium sulfat). Ketika pupuk yang mengandung kalsium, phosphate, sulfat dicampur dalam konsentrasi tinggi akan terjadi pengendapan dalam kalsium phosphat and kalsium sulfat. Endapan ini akan menggumpal di dasar tangki dan dapat menyumbat emitterpada jaringan irigasi tetes.
3. Gunakanlah air panas untuk mencapur pupuk di masing-masing Tangki. Akan tetapi masukkanlah hara mikro pada saat air sudah menjadi hangat, dan tidak panas.
4. Aduklah terus pada saat pupuk ditambahkan ke tangki larutan hara.
Bila menggunakan pupuk tambahan pastikan bahwa kalsium tidak tercampur dengan phosphate atau sulfat. Pada umumnya sumber pupuk nitrat dapat ditambahkan ke Tangki A, sedangkan yang lain di Tangki B. Besi (Fe) selalu tambahkan ke Tanggki A untuk menghidari reaksi dengan phosphate yang dapat mengakibatkan pengendapan yang mengakibatkan tanaman dapat kekurangan besi (Wieler and Sailus 1996), apabila menggunakan asam untuk koreksi pH dapat ditambahkan di Tangki A atau B, atau dapat ditambahkan di tangki C. Apabila menggunakan potassium bicarbonate diperlukan untuk menaikkan pH buatlah di Tangki C.
APLIKASI PUPUK DAN AIR (FERTIGASI)
Air dan pupuk diberikan secara bersamaan sebgai larutan hara. Jumlah air dan hara akan selalu berubah sesuai dengan umur dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan tanaman terhadap hara dan terus meningkat sejak persemaian sampai tanaman menghasilkan.
Secara umum lebih baik meningkatkan frekuensi penyiraman daripadameningkatkan jumlah air yang diberikan pada tanaman yang mendekati masa panen. Frekuensi pemberian air juga dapat untuk mengatur keseimbangan fase vegetatif/generatif tanaman. Pada jumlah volume yang tetap semakin banyak frekuensi penyiraman tanaman akan cenderung mengalami pertumbuhan vegetatif, sebaliknya semakin jarang frekuensi cenderung mendorong pertumbuhan generatif.
Jadwal fertigasi untuk budidaya tanaman sayuran di dalam greeenhouse secara hidroponik serta kisarann pH masuk dan pH keluar disajikan pada Tabel 6.9. Pengukuran EC larutan hara dapat dipakai sebagai ukuran tingkat pemberian hara bagi tanaman. EC larutan hara yang memiliki target nitrogen 200 ppm, kira-kira sebesar 2.5 mmhos. Tentu saja jumlah hara yang lain secara proporsional mengikuti jumlah nitrogen. Monitoring EC dan pH dapat dilakukan pada EC masuk (sebelum melewat media tanam) dan EC keluar (setelah melewati media tanam). Hal ini dapat memantau kecukupan hara selama pertumbuhan tanaman. Tingkat pH optimum adalah 5.8, aktivitas perakaran biasanya dapat menurunkan pH sekitar perakaran untuk mengatasi hal tersebut perlu digunakan pupuk yang tidak bersifat masam. Tidak direkomendasikan menggunakan pupuk masam pada pH larutan 5.5. Penggunaan ammonium nitrat pada 2-5 ppm (NH4 - N) akan menurunkan pH perakaran karena pengaruh asam dari pupuk tersebut
Penyiraman pada malam hari dapat meningkatkan perkembangan buah, akan tetapi biasanya berasosiasi dengan resiko pecah buah bila aplikasi terlalu banyak. Sehingga penyiraman pada malam hari perlu dikalibrasikan dengan kondisi agroklimat setempat.
Manajemen fertigasi merupakan cara yang fleksible dalam pemberian pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Dengan pengalamannya, petani dapat dengan mudah menyesuaikan jumlah dan jenis pupuk untuk memenuhi kebutuhan tanaman berdasarkan tingkat perkembangannya. Pemberian hara yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tanaman adalah salah satu “keyword” dalam budidaya tanaman secara hidroponik, sehingga kesuksesan dalam manjemen larutan hara merupakan juga kesuksesan dalam berbisnis tanaman secara hidroponik.
 PENGEMBANGAN HIDROPONIK DI INDONESIA
Beberapa hal yang harus dipertimbangankan dalam pengembangan teknologi budidaya tanaman secara hidroponik di Indonesia adalah:
1. Sistem yang dibagunag harus sederhana dan tidak rumit
2. Sistem ang dibangun harus murah
3. Sistem yang dibangun harus melibatkan bahan-bahan yang ramah lingkungan
4. Komponen bahan dan alat yang digunakan mudah di dapatkan
5. Sistem tidak tergantung terhadap energi listrik
6. Digunakan komoditas yang bernilai komersial yang tinggi.
Dengan demikian maka pengusahaan budidatanamn secaa hidroponik akan dapat memberikan margin keuntungan yang tinggi dan layak untuk dikembangkan hidroponik.

2.1.4 KEUNTUNGAN & KERUGIAN HIDROPONIK
Keuntungan Hidroponik
  1. Produksi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan media tanam tanah biasa.
  2. Lebih terjamin kebebasan tanaman dari hama dan penyakit.
  3. Tanaman tumbuh lebih cepat dan pemakaian pupuk lebih hemat.
  4. Bila ada tanaman yang mati, bias diganti dengan tanman baru dengan mudah.
  5. Tanaman akan memberikan hasil yang Countinue
  6. Metode kerja yang sudah distandardisasi, lebih memudahkan pekerjaan dan tidak membutuhkan tenaga kasar (Sutiyoso,2003).
  7. Tanaman dapat tumbuh di tempat yang semestinya tidak cocok bagi tanaman yang bersangkutan.
Kekurangan Hidroponik antara lain:
1.     larutan nutrient harus seimbang,
 perawatan yang cukup mahal, hanya khusus tanaman tertentu. Irigasi atau pengairan sangat penting dalam pertumbuhan tanaman.  Apalagi dalam sistem hidroponik irigasi yang teratur atau rutin sangat dibutuhkan.  Secara garis besar, irigasi dalam sistem hidroponik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sistem air menggenang dan sistem air mengalir (Prihmantoro, 1996).
2.      Sistem air menggenang
Dalam sistem irigasi ini air/larutan yang diberikan tertampung dlam wadah pot sehingga tergenang.  Ketinggian air/larutan harus di bawah akar.  Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terendamnya akar sehingga dapat menyebabkan pembusukan.  Sistem ini biasanya digunakan pada hidroponik yang memakai wadah akuarium        (Prihmantoro, 1996).
3.      Sistem air mengalir
Sistem air mengalir mempunyai prinsip air/larutan dialirkan terus sehingga tidak ada yang menggenang. Sistem ini mempunyai kelebihan yaitu zat hara yang tercampur dalam air tidak mengendap sehingga akar tetap menyerap zat hara dalam konsentrasi yang sama dan sesuai. Dua macam cara dalam sistem air mengalir yang banyak digunakan untuk hidroponik yaitu drip irrogation (irigasi tetes), Nutrient Film Technical (NFT), dan Floating Hydroponics System (FHS) (Prihmantoro, 1996).
Hidroponik dengan sistem nutrient film tehnical (NFT) mempunyai prinsip air/ larutan dialirkan dibawah akar, kemudian ditampung dalam wadah untuk didaur ulang lagi.  Dengan cara ini larutan tidak terbuang percuma.  Dalam sistem NFT ada dua macam cara yang digunakan, yaitu dengan bed sistem dan teras (Prihmantoro, 1996).
Bagi pengusaha hidroponik, pupuk yang tersedia di pasaran kadang kurang memuaskan.  Selain harganya mahal, belum tentu larutan tersebut sesuai dengan kebutuhan hara jenis tanaman yang diusahakan. Lingga (1987) menyatakan bahwa, yang penting dipahami ialah bahwa semua tanaman yang ditumbuhkan dengan metode hidroponik harus diberi makanan berupa campuran garam-garam pupuk yang dilarutkan dan diberikan secara teratur.

KESIMPULAN
  1. Hidroponik merupakan usaha pemanfaatan air dengan maksimal dalam  rangka usaha budidaya pertanian.
  2. Budidaya tanaman dengan sistem hidroponik tidak memerlukan lahan yang subur dan dapat menghemat lahan atau tidak membutuhkan lahan yang luas khususnya dalam usaha budidaya tanaman bayam.
  3. Usaha budidaya bayam dengan sistem hidroponik akan memberikan hasil yang lebih maksimal dibanding dengan sistem konpensional.
  4. Dalam usaha budidaya dengan sistem hidroponik terbagi atas dua yaitu ; hidroponik skala rumah tangga dan hidroponik skala industri, untuk hidroponim skala rumah tangga dapat menggunakan rangkaian pipa yang di buat khusus dengan mempertimbangkan sirkulasi air (Kit), dan untuk skala industri menggunakan bedengan-bedengan yang terbuat dari semen atau kayu.
  5. Pemberian nutrisi lebih diperhatiakan karena tanaman cuman tergantung pada satu sumber nutrisi yaitu nutrisi buatan.
  6. Hidroponik merupakan sala satu budidaya alternatif yang sangat cocok untuk dikembangkan di era modrn ini. Hal ini dikerenakan oleh semakin sempit dan terbatasnya lahan pertanian yang subur.
  7. Hidroponik banyak disukai karena sistem ini tidak membuthkan lahanyang luas dan termasuk pertanian yang bersih karena penggunaan tanah yang sedikit dan tidak perlu dilakukan pengolahan lahan sebelum proses penanaman.
  8. Hidroponik berdasarkan cara pemberian larutan terbagi menjadi dua macam yaitu hidroponik manual dan hidroponik otomatis.
  9. Hasil yang diperoleh pemberian pupuk cair 3ml lebih dari pada 2ml dan 1ml dikarenakan nutrisi yang ada dipupuk cair 3ml lebih baik dan lebih banyak. Selain itu tanaman kangkung pada hidroponik manual akan tumbuh dengan baik apabila kebutuhan nutrisi tercukupi dan factor lingkungan mendukung.




DAFTAR PUSTAKA
Harris, P.M. 1988. Mineral Nutrition. In Harris (ed) The Potato Crop; The Scientific Basis for Improvement London. Chopman and Hall
Karsono, S. 2008. Pengenalan Sistem Hidroponik. Parung Farm. Bogor.
Lingga, P. 2007. Hidroponik Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta. 80 hal.
Prihmantoro, H. dan Y. H. Indriani. 1998. Hidroponik Sayuran Semusim untuk Bisnis dan Hobi. Penebar Swadaya. Jakarta. 121 hal.
Resh, H. M. 2004. Hydroponic Food Production Sixth Edition. New Concept Press. New Jersey. 567 p.
Roberto K. 2004. How-To Hydroponics Fourth Edition. Futuregarden Press. New York.
Savage, A.D. 1985. Overview:Background, current situation, and future prospect, p.6 – 11. In: A.J. Savage (ed.). Hydroponics worldwide: State of the art in soiless crop production. Intl. Ctr. Special. Studies Inc.Honolulu, Hawaii.
Sutiyoso, Yos. 2003. Aeroponik Sayuran Budidaya dengan Sistem Pengabutan.Penebar Swadaya. Jakarta.
Suwandi. 2009. Menakar kebutuhan Hara Tanaman Dalam Pengembangan  Inovasi Budidaya Sayuran Berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian. Bogor.
Untung, O. 2004. Hidroponik Sayuran Sistem NFT (Nutrient Film Technique). Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar