200 Ribu Ali
“Mak,
sandainya engkau masih hidup, mungkin nasib anakmu ini tidak seburuk ini mak.
Ali sudah capek hidup terlantar mak,...”adu seseorang yang berpakaian lusuh,
kotor di depan makam yang tidakterwat. Pakaiannya menandakan dia bukanlah orang
yang biasa. Ya, dia adalah orang yang kurang mampu dan hidup hanya di bawah
kardus-kardus yang ia dapatkan ditepi jalan dan tong sampah.
Hari
itu,sehari setelah ia ziarah pemakaman ibunya,yang tak pernah ia tahu bagaimana
bentuk dan rupa ibunya itu. Ia hanya tahu berdasarkan cerita kerabat dan
tetangganya dahulu. Sekarang dia sudah tidak lagi tinggal di rumah yang nyaman,
bahkan untuk makan saja harus bekerja dahulu.
Ia
selalu ingat akan pesan guru ngajinya dulu, walaupun hidup sesusah apapun
pastilah Allah membantunya. Allah itu tidak akan memberikan cobaan di luar
kemampuan dari kita. Nasehat ini selalu diingatnya betul, sehingga dia tidak
pernah mencuri, apalagi mengemis. Baginya mengemis itu sangat rendah, dia tak
pernah berpikir untuk mengemis. Daripada mengemis, dia lebih baik mencuri, itu
sedikit ada usahanya.
Pernah
saat dia sedang istirahat di bawah pelataran toko yang sedang tutup, dia diberi
uang oleh orang yang lewat. Tapi uang itu di antarnya kembali dan
berterimakasih kepada orang itu karena telah ikhlas memberi walaupun tidak
diminta. Tetapi dia juga memarahi orang itu karena pengemis seharusnya tidak
diberi uang dengan cara yang begitu.
Pagi
ini suhu kota sangat dingin. Pemuda yang bernama Ali itu batuk-batuk dan
tandanya penyakitnya kambuh lagi. Dia menderita penyakit batuk-batuk sejak
lama, tapi apalah daya dia tidak pernah berobat. Dia berniat untuk mengumpulkan
uang terlebih dahulu agar bisa berobat di Puskesmas ataupun di klinik, tapi
jangankan terkumpul uang itu malahan habiskarena keperluan lain seperti uang
sewa tempat tinggalnya.
“Ya
Allah, ampunilah dosa hambamu ini,dan dosa kedua orangtua hamba ....”Pintanya
selalu sehabis menunaikan ibadah solat,entah di mesjid atau di pinggir jalan
selalu dia solat jika waktunya telah masuk.
“Bocah-bocah,
gak sadar apa! Udah hidupnya ngemis begitu, sok-sok meminta yang
bukan-bukan...”
“Bapak
kenapa selalu meledek saya, saya tidak pernah ngemis pak. Bapakkan selalu saya
larang ngemis, tapi masih saja tak mau kan? Edan emang bapak...”
“Alah,
kamu... Kayak mana anu, uang yang kamu simpan? Sudah segunung? Hahahaha....”
“Halah-halah,
bapak kenapa tak henti-hentinya ngeledek saya ha..... baru 78 ribu pak, kemaren
itu aku tanya sama perawat di puskesmas, harga obat aku itu 190 ribu pak. Masih
banyak kurangnya.”
“Aku
ada sedikit nih, 30 ribu aja tapi. Ini lebih uang kemaren ngemis di simpang
empat jalan pattimura sana. Ambil nih,”
“Gak
mau ah pak, uang ngemis bapak kan? Udahlah untuk bapak aja. Saya gak mau makan
uang ngemis pak, bapak kan udah tahu saya anti sama kerjaan bapak. Masih aja
nawari saya. Oh iya pak, saya mau nyuci piring di rumah makan padang yang di
depan, saya pergi dulu ya...”
“Ya
udah, pergi aja lah, gak usah pamitan segala. Kayak benar aja...”cemooh orang
yang dipanggil Ali bapak itu, beranjak juga dari tempat persitirahatannya
hendak bergegas meraup untung dari para pemberi nafkah di jalanan.
Ali
mulai berjalan menuju tempat dia bekerja, walaupun hanya sebatas pencuci piring
rumah makan dadakan. Dia bekerja kalau dipanggil saja. Itupun seminggu paling
banyak tiga kali kerja disana. Dengan upah sebesar dua puluh ribu seharian,
memang tidak begitu banyak untuk menyimpan uang.
Di
pinggir jalan yang sering dia lalui, ada rumah kecil dipagari kayu dan bambu,
dia tidak pernah melihat siapa yang tinggal di dalam sana. Dulu dua tahun yang
lalu dia pernah melihat anak kecil yang lumpuh yang duduk di kursi roda
sendirian. Anak itu kena sinar matahari, kulitnya memerah. Karena iba Ali
mendorong anak itu masuk ke rumah dan memanggil ibunya. Bukan ibunya yang
keluar, tapi seorang laki-laki tua yang marah besar.
“Dia
nakal, dia ngompol di kasur saya. Ngapai kamu bawak dia ke dalam. Itu bukan
urusan kamu, dasar pengemis tidak tahu diri! Pergi sana!”hardiknya pada Ali
waktu itu. “Tapi pak, dia kasihan, liat tu mukanya merah. Dia kenapa
pak?”basa-basiku sebelum meninggalkan rumah itu.
“Dia,
cucuku. Kamu gak ada urusan sama dia. Dia cuman lumpuh. Gak perlu
dikasihani,...”
Semenjak
hari itu dia tidak pernah lagi masuk dan melihat bapak dengan cucunya yang
lumpuh itu. Tapi terkadang di malam hari, dia sesekali pernah juga melihat dari
luar orang di dlam sana.
Walaupun
hidup sendiri, tapi penghasilan tetap saja tidak cukup. Jangankan untuk beli
obat yang telah lama ia inginkan, untuk melengkapi kebutuhan makannya saja
sudah pas-pasan. Terlebih lagi adanya preman yang mintak uang keamanan karena
tinggal di daerah mereka. Memprihatinkan memang, tapi mau bagaimana lagi memang
begitulah hidup.
Dua
bulan berlalu, uang yang terkumpul sudah dua ratus ribu. Udah berlebih untuk
beli obatnya. Uang itu dia kumpulkan sampai-sampai dia tidak makan dua hari.
Tapi dia senang karena uang itu telah cukup. Besok dia akan membeli obat
sebagaimana yang dokter sarankan padanya.
Malam
itu sangat dingin, seperti biasanya jika dingin dia akan batuk dan nafasnya
sesak. Hujan deras mengguyur kota. Rumah kardusnya itu lembab, walau tidak
sampai basah. Dia terus mengucapkan istighfar dan mencoba tenang. Angin-angin
yang datang di malam hari membawa suhu dingin yang menusuk ke tulang. Sementara
itu di malam itu kesibukan kota yang merajalela tidak terhenti karena hujan dan
badai.
Dengan
lebatnya hujan, semakin gelap juga pandangan mata Ali. Dzikir tak
henti-hentinya dia ucapkan. Tiba-tiba terbayang di benaknya wajah ibunya, walaupun
tidak tahu persis seperti apa rupanya. Dia teringat kalau tetangganya bilang
kalau dia masih punya nenek di kampung. Tapi dia sendiri tidak pernah tahu dari
mana asalnya dan dimana kampungnya itu.
Petir
mulai menyambar, angin segera berhenti dan hujan bertambah deras. Lalu mata Ali
yang hitam itu tertutup dan dia tidak sadar lagi. Esoknya dia bangun, di
tangannya masih ada uang dua ratus ribu yang akan dia belikan obat. Tapi dia
baru sadar kalau ternyata rumah kardusnya telah hancur dilenyap badai semalam.
Dia tidak tahu dan mungkin dia tertidur pulas saat itu.
“Kamu
nak Ali kan?”
“Iya,
kenapa mas?”
“Anu,
saya Jali. Sepertinya kamu kenal sama bapak-bapak yang tinggal di rumah dekat
bank sana, yang pagarnya bambu itu. Tadi anaknya sakit lagi, dia nyuruh saya
manggil kamu. Udah ya saya pamit dulu...”
“Oh,
ya ya mas, makasi ya mas”
“Cepetan
kesana, ditungguin...”
“Iya,
saya kesana,”
Ali
heran, kenapa bapak itu minta dia datang kerumahnya dan anaknya sakit? Apa
hubungannya dengan dia? Ali semakin bingung. “Entahlah.... Mungkin ini
panggilan untuk saya,”
Pagi itu memang hari yang cerah, juga baik
untuk menolong, begitu pikiran Ali yang selalu berprasangka baik.
“permisi
pak, ada apa ya pak?”
“kamu
yang datang kenari tempo lalu kan?”
“Iya,
memangnya kenapa? Saya ada salah?”
“Tidak-tidak,
saya kan sudah tua. Saya tidak punya keluarga selain anak penyakitan ini, saya
besok mau cabut aja dari sini. Saya ingin kamu ambil aja ni anak lumpuh. Mau
kan?”
“Loh,
kenapa begitu pak? Dia kan cucu bapak. Kenapa ditinggal? Sebetulnya bapak mau kemana?”
“Saya
mau pergi .... saya mau mati saja! Hidup seperti ini tidak enak. Besok saya mau
pergi, bawalah anak lumpuh ini. Besok pemilik rumah ini akan menagih uang kontrakan, sebelum dia datang
saya dan anak lumpuh ini harus tidak disini lagi. Biar gratis gitu,”
“Saya
gak mau lah pak. Lagian ngapain pakai mau bunuh diri? Apa gak kasian sama ni
anak.”
“Udahlah.
Saya pergi dulu, ini bawak dia tersrah mau kemana, mau dibunuh juga gak
apa-apa.”
“Tega
sekali bapak! Saya tidak mau membawa anak lumpuh ini!”
“Ya
sudah, biar saja dia tinggal disini, biar mati aja dia disini,”
“Pak,
bapak punya parang di belakang pak? Boleh saya pinjam sebentar?”
“Ada,
ambil saja. Untuk apa?”
“Ambilkan
saja ya pak, sebentar saja.”
Bapak
itu pergi kebelakang dan mengambil parang. Sementara itu Ali mendekati anak
yang lumpuh itu. Menatapnya dalam-dalam. Lalu membisikkan di telinganya, “kamu
anak yang malang...”. tangannya yang berbulu itu melingkar di leher anak itu
dan tangannya mulai mencekik hingga anak malang itu tidak bisa bernafas dan
akhirnya mati.
“Ini
parangnya,...”
“Gunanya
untuk ini pak,”
Ali
memukulkan parang itu ke kepala Bapak itu, dan sebentar saja bapak itu pingsan
dan mati juga. Entah apa yang ada di benak ali saat itu. Tiba-tiba dia tega
membunnuh, padahal dia pernah bepikiran seperti itu sebelumnya.
Takut
akan perbuatannya itu, Ali mencari tali dan menggantung tubuhnya yang lusuh.
Diapun tewas seketika. Wajahnya yang pucat karena tidak makan terlihat semakin
pucat karena tubuhnya kini tidak lagi mengalir darah. Tiga mayat itu mati
hampir bersamaan. Roh Ali telah pergi meninggalkan jasadnya menuju alam yang
berbeda. Uang yang hendak dibelikannya obat itu jatuh dari sakunya, dua lembar
uang seratus ribu itu jatuh melayang dan jatuh di bawah kakinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar