“Mak, sandainya engkau masih hidup, mungkin nasib anakmu ini
tidak seburuk ini mak. Ali sudah capek hidup terlantar mak,...”adu seseorang
yang berpakaian lusuh, kotor di depan makam yang tidakterwat. Pakaiannya
menandakan dia bukanlah orang yang biasa. Ya, dia adalah orang yang kurang
mampu dan hidup hanya di bawah kardus-kardus yang ia dapatkan ditepi jalan dan tong
sampah.
Hari
itu,sehari setelah ia ziarah pemakaman ibunya,yang tak pernah ia tahu bagaimana
bentuk dan rupa ibunya itu. Ia hanya tahu berdasarkan cerita kerabat dan
tetangganya dahulu. Sekarang dia sudah tidak lagi tinggal di rumah yang nyaman,
bahkan untuk makan saja harus bekerja dahulu.
Ia selalu
ingat akan pesan guru ngajinya dulu, walaupun hidup sesusah apapun pastilah Allah
membantunya. Allah itu tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan dari
kita. Nasehat ini selalu diingatnya betul, sehingga dia tidak pernah mencuri,
apalagi mengemis. Baginya mengemis itu sangat rendah, dia tak pernah berpikir
untuk mengemis. Daripada mengemis, dia lebih baik mencuri, itu sedikit ada
usahanya.
Pernah saat
dia sedang istirahat di bawah pelataran toko yang sedang tutup, dia diberi uang
oleh orang yang lewat. Tapi uang itu di antarnya kembali dan berterimakasih
kepada orang itu karena telah ikhlas memberi walaupun tidak diminta. Tetapi dia
juga memarahi orang itu karena pengemis seharusnya tidak diberi uang dengan
cara yang begitu.
Pagi ini suhu
kota sangat dingin. Pemuda yang bernama Ali itu batuk-batuk dan tandanya
penyakitnya kambuh lagi. Dia menderita penyakit batuk-batuk sejak lama, tapi
apalah daya dia tidak pernah berobat. Dia berniat untuk mengumpulkan uang
terlebih dahulu agar bisa berobat di Puskesmas ataupun di klinik, tapi
jangankan terkumpul uang itu malahan habiskarena keperluan lain seperti uang
sewa tempat tinggalnya.
“Ya Allah,
ampunilah dosa hambamu ini,dan dosa kedua orangtua hamba ....”Pintanya selalu
sehabis menunaikan ibadah solat,entah di mesjid atau di pinggir jalan selalu
dia solat jika waktunya telah masuk.
“Bocah-bocah,
gak sadar apa! Udah hidupnya ngemis begitu, sok-sok meminta yang
bukan-bukan...”
“Bapak kenapa
selalu meledek saya, saya tidak pernah ngemis pak. Bapakkan selalu saya larang
ngemis, tapi masih saja tak mau kan? Edan emang bapak...”
“Alah, kamu...
Kayak mana anu, uang yang kamu simpan? Sudah segunung? Hahahaha....”
“Halah-halah,
bapak kenapa tak henti-hentinya ngeledek saya ha..... baru 78 ribu pak, kemaren
itu aku tanya sama perawat di puskesmas, harga obat aku itu 190 ribu pak. Masih
banyak kurangnya.”
“Aku ada
sedikit nih, 30 ribu aja tapi. Ini lebih uang kemaren ngemis di simpang empat
jalan pattimura sana. Ambil nih,”
“Gak mau ah
pak, uang ngemis bapak kan? Udahlah untuk bapak aja. Saya gak mau makan uang
ngemis pak, bapak kan udah tahu saya anti sama kerjaan bapak. Masih aja nawari
saya. Oh iya pak, saya mau nyuci piring di rumah makan padang yang di depan,
saya pergi dulu ya...”
“Ya udah,
pergi aja lah, gak usah pamitan segala. Kayak benar aja...”cemooh orang yang
dipanggil Ali bapak itu, beranjak juga dari tempat persitirahatannya hendak
bergegas meraup untung dari para pemberi nafkah di jalanan.
Ali mulai
berjalan menuju tempat dia bekerja, walaupun hanya sebatas pencuci piring rumah
makan dadakan. Dia bekerja kalau dipanggil saja. Itupun seminggu paling banyak
tiga kali kerja disana. Dengan upah sebesar dua puluh ribu seharian, memang
tidak begitu banyak untuk menyimpan uang.
Di pinggir
jalan yang sering dia lalui, ada rumah kecil dipagari kayu dan bambu, dia tidak
pernah melihat siapa yang tinggal di dalam sana. Dulu dua tahun yang lalu dia
pernah melihat anak kecil yang lumpuh yang duduk di kursi roda sendirian. Anak
itu kena sinar matahari, kulitnya memerah. Karena iba Ali mendorong anak itu masuk
ke rumah dan memanggil ibunya. Bukan ibunya yang keluar, tapi seorang laki-laki
tua yang marah besar.
“Dia nakal,
dia ngompol di kasur saya. Ngapai kamu bawak dia ke dalam. Itu bukan urusan
kamu, dasar pengemis tidak tahu diri! Pergi sana!”hardiknya pada Ali waktu itu.
“Tapi pak, dia kasihan, liat tu mukanya merah. Dia kenapa pak?”basa-basiku
sebelum meninggalkan rumah itu.
“Dia, cucuku.
Kamu gak ada urusan sama dia. Dia cuman lumpuh. Gak perlu dikasihani,...”
Semenjak hari
itu dia tidak pernah lagi masuk dan melihat bapak dengan cucunya yang lumpuh
itu. Tapi terkadang di malam hari, dia sesekali pernah juga melihat dari luar
orang di dlam sana.
Walaupun
hidup sendiri, tapi penghasilan tetap saja tidak cukup. Jangankan untuk beli
obat yang telah lama ia inginkan, untuk melengkapi kebutuhan makannya saja
sudah pas-pasan. Terlebih lagi adanya preman yang mintak uang keamanan karena
tinggal di daerah mereka. Memprihatinkan memang, tapi mau bagaimana lagi memang
begitulah hidup.
Dua bulan
berlalu, uang yang terkumpul sudah dua ratus ribu. Udah berlebih untuk beli
obatnya. Uang itu dia kumpulkan sampai-sampai dia tidak makan dua hari. Tapi
dia senang karena uang itu telah cukup. Besok dia akan membeli obat sebagaimana
yang dokter sarankan padanya.
Malam itu
sangat dingin, seperti biasanya jika dingin dia akan batuk dan nafasnya sesak.
Hujan deras mengguyur kota. Rumah kardusnya itu lembab, walau tidak sampai
basah. Dia terus mengucapkan istighfar dan mencoba tenang. Angin-angin yang
datang di malam hari membawa suhu dingin yang menusuk ke tulang. Sementara itu
di malam itu kesibukan kota yang merajalela tidak terhenti karena hujan dan
badai.
Dengan
lebatnya hujan, semakin gelap juga pandangan mata Ali. Dzikir tak
henti-hentinya dia ucapkan. Tiba-tiba terbayang di benaknya wajah ibunya, walaupun
tidak tahu persis seperti apa rupanya. Dia teringat kalau tetangganya bilang
kalau dia masih punya nenek di kampung. Tapi dia sendiri tidak pernah tahu dari
mana asalnya dan dimana kampungnya itu.
Petir mulai
menyambar, angin segera berhenti dan hujan bertambah deras. Lalu mata Ali yang
hitam itu tertutup dan dia tidak sadar lagi. Esoknya dia bangun, di tangannya
masih ada uang dua ratus ribu yang akan dia belikan obat. Tapi dia baru sadar
kalau ternyata rumah kardusnya telah hancur dilenyap badai semalam. Dia tidak
tahu dan mungkin dia tertidur pulas saat itu.
“Kamu nak Ali
kan?”
“Iya, kenapa
mas?”
“Anu, saya
Jali. Sepertinya kamu kenal sama bapak-bapak yang tinggal di rumah dekat bank
sana, yang pagarnya bambu itu. Tadi anaknya sakit lagi, dia nyuruh saya manggil
kamu. Udah ya saya pamit dulu...”
“Oh, ya ya
mas, makasi ya mas”
“Cepetan
kesana, ditungguin...”
“Iya, saya
kesana,”
Ali heran,
kenapa bapak itu minta dia datang kerumahnya dan anaknya sakit? Apa hubungannya
dengan dia? Ali semakin bingung. “Entahlah.... Mungkin ini panggilan untuk
saya,”
Pagi itu memang hari yang cerah, juga baik untuk menolong,
begitu pikiran Ali yang selalu berprasangka baik.
“permisi pak,
ada apa ya pak?”
“kamu yang
datang kenari tempo lalu kan?”
“Iya, memangnya
kenapa? Saya ada salah?”
“Tidak-tidak,
saya kan sudah tua. Saya tidak punya keluarga selain anak penyakitan ini, saya
besok mau cabut aja dari sini. Saya ingin kamu ambil aja ni anak lumpuh. Mau
kan?”
“Loh, kenapa
begitu pak? Dia kan anak bapak. Kenapa ditinggal? Sebetulnya bapak mau keman?”
“Saya mau
pergi ke neraka, hahaha.... saya mau mati saja! Hidup seperti ini tidak enak.
Besok saya mau pergi, bawalah anak lumpuh ini. besok pemilik rumah ini akan
menagih uang kontrakan, sebelum dia datang saya dan anak lumpuh ini harus tidak
disini lagi. Biar gratis gitu,”
“Saya gak mau
lah pak. Lagian ngapain pakai mau bunuh diri? Apa gak kasian sama ni anak.”
“Udahlah.
Saya pergi dulu, ini bawak dia tersrah mau kemana, mau dibunuh juga gak
apa-apa.”
“Tega sekali
bapak! Saya tidak mau membawa anak lumpuh ini!”
“Ya sudah,
biar saja dia tinggal disini, biar mati aja dia disini,”
“Pak, bapak
punya parang di belakang pak? Boleh saya pinjam sebentar?”
“Ada, ambil
saja. Untuk apa?”
“Ambilkan
saja ya pak, sebentar saja.”
Bapak itu
pergi kebelakang dan mengambil parang. Sementara itu Ali mendekati anak yang
lumpuh itu. Menatapnya dalam-dalam. Lalu membisikkan di telinganya, “kamu anak
yang malang...”. tangannya yang berbulu itu melingkar di leher anak itu dan
tangannya mulai mencekik hingga anak malang itu tidak bisa bernafas dan
akhirnya mati.
“Ini
parangnya,...”
“Gunanya
untuk ini pak,”
Ali
memukulkan parang itu ke kepala Bapak itu, dan sebentar saja bapak itu pingsan
dan mati juga. Entah apa yang ada di benak ali saat itu. Tiba-tiba dia tega
membunnuh, padahal dia pernah bepikiran seperti itu sebelumnya.
Takut akan
perbuatannya itu, Ali mencari tali dan menggantung tubuhnya yang lusuh. Diapun
tewas seketika. Wajahnya yang pucat karena tidak makan terlihat semakin pucat
karena tubuhnya kini tidak lagi mengalir darah. Tiga mayat itu mati hampir
bersamaan. Roh Ali telah pergi meninggalkan jasadnya menuju alam yang berbeda.
Uang yang hendak dibelikannya obat itu jatuh dari sakunya, dua lembar uang
seratus ribu itu jatuh melayang dan jatuh di bawah kakinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar