“Apa?
Bukankah dia tidak suka padaku?”
“Benar, tapi
itu karena kelakuanmu yang aneh! Kau sering sendirian kalau disekolah. Kalaupun
bersama teman itu hanya sebentar, mengapa? Itu yang dia ingin tahu... katakan
saja padaku apa masalahmu, aku akan bantu, sungguh!”
“Benarkah?
Aku hanya lebih suka sendirian. Aku serius, a a ku hanya enak sendiri, ya kau
tahukan aku suka sendiri?”
“Bukan itu
yang ingin aku tahu, tapi MENGAPA? Itu yang perlu aku tahu... Gadis yang kau
sukai itu adalah seorang periang, suka bicara, dan dia paling tidak suka
suasana diam yang sering kau ciptakan saat pergi dengannya, aku tak....”
“Cukup!
Sepulang sekolah nanti akan aku ceritakan padamu Sa, aku tunggu di gerbang
ya...”
“Oh, baiklah.
Jangan sampai aku menunggu, ok!
“Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menunggu,”
~oOo~
Sa, Anisa. Teman karibku dari SMP dulu. Hanya dia satu-satunya kawanku yang pertama saat itu, dan sampai sekarang tak pernah berganti. Hingga kelas tiga SMA ini. kami pernah di gosipkan pacaran, padahal sama sekali tidak pernah terngiang di benakku untuk menjadi pacarnya. Itu dikarenakan dia selalu saja ada yang mau pacaran sama dia. Baru saja putus sudah ada lagi yang dekati dia. Sebagai sahabatnya, aku mendukungnya. Tapi walau begitu laris di sekolah, dia seperti orang dewasa saja dalam memilih. Pilihannya tentu disaringnya betul.
Kini, saat kami telah duduk di kelas tiga, walau beda kelas tapi kami selalu bersama. Dia punya teman juga, seorang cewek... manis, berlesung pipit dan tatapan matanya padaku serasa aku adalah pangeran yang terlahir untuknya. Walau begitu, sifat dia berkebalikan denganku. Dia sungguh suka berteman. Temannya banyak sekali dari ipa 1 sampai ipa 6 dan ips 1 sampai ips 5 semua dia punya. Itu yang membuat aku risih saat aku berdua dengannya.
“Kita lihat saja nanti, siapa yang akan menunggu,”
~oOo~
Sa, Anisa. Teman karibku dari SMP dulu. Hanya dia satu-satunya kawanku yang pertama saat itu, dan sampai sekarang tak pernah berganti. Hingga kelas tiga SMA ini. kami pernah di gosipkan pacaran, padahal sama sekali tidak pernah terngiang di benakku untuk menjadi pacarnya. Itu dikarenakan dia selalu saja ada yang mau pacaran sama dia. Baru saja putus sudah ada lagi yang dekati dia. Sebagai sahabatnya, aku mendukungnya. Tapi walau begitu laris di sekolah, dia seperti orang dewasa saja dalam memilih. Pilihannya tentu disaringnya betul.
Kini, saat kami telah duduk di kelas tiga, walau beda kelas tapi kami selalu bersama. Dia punya teman juga, seorang cewek... manis, berlesung pipit dan tatapan matanya padaku serasa aku adalah pangeran yang terlahir untuknya. Walau begitu, sifat dia berkebalikan denganku. Dia sungguh suka berteman. Temannya banyak sekali dari ipa 1 sampai ipa 6 dan ips 1 sampai ips 5 semua dia punya. Itu yang membuat aku risih saat aku berdua dengannya.
Hari itu,
sehabis upacara aku pergi ke kantin dengan dia. Aku masih bingung mau mulai
pembicaraan darimana, soalnya aku sangat pendiam dan tertutup. Aku takut jika
aku mulai tentang pelajaran, takut dikira sok rajin. Jika dari olahraga, dia
cewek, mana suka begituan. Tanyakan PR, dia pasti sudah siap. Habisnya dia
rajin. Inilah yang selalu membuatku kehabisan akal saat dekat dengan dia. Dia
pun sepanjang perjalanan dari lapangan ke kantin terus menyapa temannya yang
satu sekolah dan melupakan aku yang ada disamping kanannya. Oh iya, namanya Aziza,
sering dipanggil Ziza. Terkadang ada yang memanggil Ijah, atau Aziz.
Dia memang
siswi yang aktif. Dari keagamaan sampai Osis dia ikut, tak hayal ini yang
membuatnya banyak teman. Sedangkan aku hanyalah siswa yang hanya punya satu
sahabat karib dari dulu bernama Anisa yang sekarang berbeda pula kelasnya
denganku, itupun sudah sibuk terus dengan sms dari pacarnya dan ditambah lagi
dengan PR dan kerjaan yang dikasi wali kelas padanya, menyita waktu kami berdua
dan akhirnya kami jumpa hanya saat pulang. Itupun kalau tidak dijemput Ayahku,
sangat miris persahabatan kami ini.
“Mi, ngomong
dong sama aku, kenapa diam aja dari tadi... sakit ya?”
“Za, aku
bingung mau ngomong apa... kamu aja deh yang mulai, ya?”
“Kamu kok
gitu sih, kamu kan cowok. Wajah okelah, tapi sifatmu ini pendiam... kenapa? Ada
masalah? Ayo dong cerita sama aku. Aku dengarr....”
“Aku harus
pergi!”
“Tapi
Tom,tomi....... aneh. Cowok aneh, ada apa dengan dia ya?”
~oOo~
Teng...teng...teng...Lalalala.......
Teng...teng...teng...Lalalala.......
Bel berbunyi,
yes.... akhirnya pulang sekolah. Tak peduli lagi apa yang ada di depan, aku
harus maju dan sampai duluan di gerbang! Sebelum Anisa terlebih dahulu sampai.
Oke, gerbang masih tertutup. Aku sudah hafal gerakan itu. Sepuluh detik lagi akan
ada suara dari pengeras suara yang berbunyi “Pak Jono, tolong dibuka gerbang!”
dan aku akan menjadi nomor satu keluar dari sekolah yang cukup membosankan ini.
“Aku menunggu
cukup lama, dua menit empat puluh lima detik Sa, kau kalah hahaha....”
“Aaahhhh,
tadi aku harus mengantar absensi yang ketinggalan di kelas. Kalau tidak akulah
yang menang, cepat katakan rahasiamu itu. Kenapa ha?”
“Jangan
buru-buru dong, santai aja kenapa? Jadi begini, hmmm....”
“Cepatlah,
jangan pakai mikir-mikir dulu, katakan dengan jujur!”
“Hmmm, tuh
kan... Hp aku bunyi! Karena itu aku diam, gak sabaran aja si cerewet ini,
bentar ya,”
“Halo, ada
apa Yah? Tomi udah pulang ni, baru aja.”
“(Suara dari
HP) Cepat pulang ya, ibu sakit...”
“Iya Yah, Tomi pulang sekarang juga,”
“Iya Yah, Tomi pulang sekarang juga,”
Tut..tuu...t..
“Ada apa?”
“Ada apa?”
“Aku harus
cepat pulang, nanti saja aku telpon ya, ibuku sakit,”
“Sial mulu, cepat sembuh ya buat ibu. Sampaikan salam aku, kalau boleh nanti aku kerumah kamulah ya,”
“Sial mulu, cepat sembuh ya buat ibu. Sampaikan salam aku, kalau boleh nanti aku kerumah kamulah ya,”
~oOo~
Ziza, mungkin dia sulit untuk berteman, bahkan pacaran denganku. Aku akui itu sebagai batu hambatan antara aku dengan Ziza. Tapi, mungkin hari kamis akan menjadi hari yang paling ku benci. Saat pulang sekolah, dan aku berdua saja dengan dia. Senangnya bukan main, dan tidak ada juga si cerewet Nisa.
Ziza, mungkin dia sulit untuk berteman, bahkan pacaran denganku. Aku akui itu sebagai batu hambatan antara aku dengan Ziza. Tapi, mungkin hari kamis akan menjadi hari yang paling ku benci. Saat pulang sekolah, dan aku berdua saja dengan dia. Senangnya bukan main, dan tidak ada juga si cerewet Nisa.
Seharusnya
ini menjadi hari terbaikku. Aku telah menyiapkan kata-kata yang aku hafal
semalam. Tapi, mungkin memang malang bagiku saat itu, aku masih dengan
kebiasaanku yang gugup dan entah mengapa saat itu aku mengabaikan ajakan dia
karena aku sedang berkonsentrasi mengingat apa yang harus aku katakan padanya
saat ini.
“Tomi, kita
makan bakso dulu yok,” ajak Ziza kala itu, namun aku hanya menjawab “ya” lalu
aku mengingat lagi, dan aku tidak sadar kalau warung bakso telah kami lewati.
Ajakan yang kedua, dia mengajakku makan kebab yang ada di persimpangan dekat
sekolah dimana banyak siswa yang nongkrong disana. “ Ayoklah makan kebab, “
kali ini suaranya agak tinggi dan aku masih saja menjawab seperti tadi. “ya”.
Kami sampai
di bawah pohon rimbun tempat favorit duduk, untunglah hanya ada aku dan dia.
saat sampai di pohon itu aku sadar, dan aku bertanya, “loh kenapa gak berhenti
di warung bakso tadi ya?”. Tapi aku tidak mendapatkan jawaban, yang aku
dapatkan hanyalah sebuah tatapan lalu aku salah tingkah dan menundukkan kepala.
Cukup lama. Kami diam, diam dan diam. Aku menutup mata dan memberanikan diri
untuk mengungkapkan rasa selama ini untuknya.
“Zi...mau kah
kamu jadi pacar aku?” batu besar yang menghalangi suaraku serasa runtuh setelah
aku mengucapkan kalimat misteri itu. Namun, sekarang detakan jantungku terasa
hingga ubun-ubun dan suaranya memecah seperti ombak. Dan kira-kira setelah
setengah menit setelah aku ucapkan kalimat misteri itu, aku dengan mata masih
tertutup tidak mendengarkan jawaban darinya. Entah itu “maaf...” atau “ha....”
ataupun “benarkah, aku mau sekali...” aku akan terima apa yang akan
ditanggapinya.
Ku buka
mataku dan melihat kekiri. Ke arahnya. Namun yang kulihat hanyalah batang pohon
rimbun yang meneduhkanku. Lalu dimana dia? aku melihat sekelilingku, tidak ada.
~oOo~
~oOo~
“Tomi, aku
telah dengar dari dia. Dia berkata padaku mungkin kalian memang tidak akan
pernah cocok. Lalu dia ingin minta maaf. Oh iya, nanti malam dia ada acara
semacam bantuan untuk anak yatim di rumahnya. Kamu diundang. Kita pergi sama
ya.”
“Oh....
sebaiknya aku nggak usah ikut. Kamu saja ya, aku ingin sendiri lagi nanti
malam.”
“Tapi .....
kamu gak boleh gitu dong, itu egois namanya! Dia mengundangmu karena dia masih
menganggap kamu temannya.”
“Dari dulu
sampai sekarang, sampai detik ini aku hanya punya seorang teman, gak akan
lebih!”
Suasana
berubah diam. Aku dan Anisa hanya berdiam. Kembali teringat olehku gadis itu.
Aziza. Entah mengapa walaupun aku telah tahu bahwa dia tidak akan pernah
bersamaku, aku masih mengharapkannya. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Dan dalam
keadaan kami yang diam, tiba-tiba Ziza melewati kami. Sungguh aku ingin bicara
dengannya, tapi aku tidak berani.
Setelah agak
jauh dari tempat aku duduk, Ziza datang lagi dan kali ini dia seperti ingin
mengatakan sesuatu kepada kami, atau mungkin saja hanya kepadaku. Aku masih
dengan egoku dan tidak mau bicara sedikitpun.
“Tom, maaf
ya... sebelumnya aku memang belum memberitahu kamu, kamu juga Nisa, sebenarnya
aku sudah memiliki seorang pacar. Maaf ya telah mengecewakan kalian, hmm...mau
kan maafin aku? Seandainya saja kamu lebih dulu Tom, sudahlah ... itu sudah
berlalu.... aku agi sibuk, aku pergi ya....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar